Lelaki bercelana cingkrang itu menjatuhkan fokus ke banir terbesar pohon randu Sarlambo. Kedua tangannya yang bertangkup gemetaran hebat. Malah belum sempat mengocok, dadu dalam tangkupan tangannya sudah teraduk-aduk. Dia menyeberang dalam arus deras kebulatan hati, yakni keikhlasan atas angka yang bakal muncul. Ketika angin dini hari tiba-tiba mengigilkan lelaki itu, tangkupan tangannya oleng. Alam makin hening. Bahkan terdengar desir saat dadu melayang di udara.
Dan denyut lelaki itu makin tak keruan saat dadu bolak-balik terpelanting antara tanah dan banir. Napasnya tertahan. Hingga dadu berhenti bergulir, rongga matanya serasa digerumuti semut rangrang. Dia roboh, mati.
Tidak heran jika pagi di pekarangan Sarlambo dilapisi keganjilan. Kiri-kanan tidak terdengar gumam jampi-jampi. Pun bebauan kemenyan serta rokok yang dibakar berbarengan. Pesemadi berkerumun di banir terbesar pohon randu Sarlambo sambil menduga-duga.
“Barangkali dia melempar dadu lebih dari tiga kali.”
“Bukan, dia salah mengucap jampi-jampi,” bantah seseorang.
“Kamu salah. Tengok wajahnya, terutama matanya yang melotot. Pasti dia mengintip ke dalam gubuk Eyang Sarlambo.”
“Tidak, tidak. Matanya mendelik sebab batinnya bergejolak dahsyat. Aku yakin lemparan terakhirnya tidak kena. Padahal, dia sudah beriktikad sungguh-sungguh. Ah, sayang, batinnya ternyata kurang kukuh.”
Hening. Pesemadi sama-sama menelan ludah lalu spontan menengadah. Pucuk pohon randu Sarlambo, ke situlah arah tatapan mereka. Pandangan mereka kian kabur dan secara gaib kesadaran dilempar jauh. Kini mereka dihadapkan refleksi terdalam diri masing-masing. Sebuah refleksi sebagai wilayah sejati seorang manusia.
Namun bagi Tawirya, orang-orang yang tengah menengadah itu bak gerombolan manusia klalen[1]. Pun manusia yang kerap membikin resah masyarakat desanya. Entah pantas dibilang borok atau kutil, Tawirya cuma maklum. Dia sadar, berkat merekalah desanya boleh merasakan listrik, air bersih, dan jalan aspal. Tepatnya, dari sumbangan yang diselipkan ke celah gubuk Sarlambo.
Tawirya membunyikan kelintingan[2] kerbau, lalu masuk gubuk tanpa waswas. Di pojokan terlihat samar meja dan kursi yang menghadap dinding bambu. Sarlambo duduk di situ. Tawirya berjalan ke pojokan lain, mengamati dinding serta lantai. Masih baik, pikirnya.
“Eyang, ini dimakan.”
Sarlambo tidak merespons, malahan terus bergumam lambat, “Di—dia tidak sembahyang.”
Tawirya tergerak mengintip pekarangan; ada rerumputan penyek yang bersihadap dengan pohon randu serta kumpulan manusia klalen. Dia lalu berbalik, didapatinya Sarlambo tiba-tiba lahap. Tawirya mengelus dada, berusaha merelakan Sarlambo yang jadi aneh. Dia pun tidak tega membayangkan Sarlambo berjalan-jalan di gubuk yang cuma berisi meja, kursi, dipan, dan kakus. Selebihnya tidak ada apa-apa, kecuali remang dan pengap.
“Eyang, ayo pulang. Kasihan keluarga di rumah.”
Sarlambo tidak menjawab. Dia malah menyodorkan setumpuk uang kemudian wajahnya mengerut. Entah dipertontonkan apa oleh jagat, tetapi Tawirya perlahan bisa memahami ketakutan Sarlambo lewat gumam lambatnya, “Di—dia tidak sembahyang.”