Di balai-balai, di pucuk hari ketika langit keunguan, Warkadun duduk sendiri. Entah mengapa lelaki itu jadi senang merenung. Diam dan bisu sambil terus menatap pohon waru yang tumbuh bengkok. Dan manakala ada tetangga lewat, mereka akan mengira: Warkadun beradu tatap dengan pohon waru. Yang jadi bahan obrolan tetap bergeming. Agaknya dia tak peduli. Atau malah dia tak sempat mendengar sebab asyik menatap pohon waru.
Ketika pintu depan berderit, tiba-tiba Warkadun bangkit. Dia segera berjalan lurus lalu memetik sirih yang membelit pokok waru. Sirih mentah dikunyah dan di-lepeh[1] saat sudah lumat. Hitungan hari Warkadun dibiarkan begitu. Keluarganya mengerti, Warkadun akan masuk rumah kalau kepengin. Sebelum itu, dia tidak boleh diganggu. Jangan.
Parinem yakin perangai Warkadun berubah sehabis tenda hajatan dibongkar dan jalan dibersihkan ramai-ramai. Tepatnya, sewaktu melongok isi amplop-amplop buwuh[2]. Parinem sendiri—yang punya hajat—tidak mempermasalahkan jumlah amplop yang cuma belasan. Dia maklum kondisi kampung yang bobrok. Buwuh tidak melulu soal amplop. Ia paling banyak hadir dalam bentuk hasil bumi. Dan jika masih dirasa kurang, si pemberi bakal menyumbang tenaga.
Sebetulnya amplop yang cuma belasan itu juga tidak menorehkan kerut di dahi Warkadun. Malah, baginya, kertas-kertas putih itu telah cukup. Amplop pertama, gaek itu senyum-senyum. Amplop kedua, gaek itu mengangguk-angguk. Amplop ketiga, gaek itu terkekeh. Namun ketika melongok isi amplop ketujuh, dia termenung lama sekali. Barangkali dadanya sedang dijejali caci maki dan tengkoraknya retak digepuk rasa malu. Paru-paru Warkadun bersiul nyaring seperti mengidap mengi.
Bilangan detik berlalu dan Warkadun berubah merah. Dia berjalan memutari meja sambil berkacak pinggang. Pun alisnya membengkok macam paruh alap-alap. Tepat di putaran ketujuh, Warkadun berhenti dan berteriak, “Penghinaan! Penghinaan! Memang kita keluarga bawah, tapi masakan bisa seenaknya dicemooh?”
Amplop itu dibanting, isinya menyembul.
“Kalian coba tengok. Supardoyo atau Burto yang kasih? Atau siapa lagi? Memang kurang ajar. Kalau ketahuan bakal saya labrak!”
“Pak, tidak baik tuduh-tuduh orang.”
“Tuduh? Siapa pula yang menuduh? Kamu jangan asal bicara. Tengok amplopnya sekali lagi. Bagaimana? Atau mata kalian sudah rabun?”
Isi amplop dilihat cermat-cermat, berupa kertas bertulis enam angka. Dimasukkan lagi ke dalam amplop dan dilihat kembali, isinya tetap sama. Parinem bahkan mengintip bagian dalam amplop. “Barangkali salah kasih amplop,” katanya.