Suratannya mestinya berakhir sesaat jagat menyadari maksud namanya. Di bawah rekahan balok-balok kayu, di bawah panas jilatan lidah api, seharusnya dia terbakar hidup-hidup. Namun, barangkali penghuni bawah tidak berkenan. Dia dilindungi. Memang tidak benar-benar selamat, tangan kanannya terbakar. Meski begitu, dia tetap bernapas dan membikin warga dusun takjub, “Anak ini mentas[1] dari api.”
Bagi mereka, anak itu adalah keajaiban. Satu-satunya yang berhasil menentang suratan dan kini lepas dari kurungan. Apalagi dia masih bocah. Dia, sebuah tuah yang patut dijaga dan dilindungi sampai besar. Kehadiran anak itu adalah kewajiban seantero dusun.
Saban malam dia akan menyelonong masuk rumah Pak Kades, tidur di sana sebab kasurnya paling empuk. Pagi hari tiba-tiba hilang dan hadirnya sudah berada di rumah Mbok Itun. Dia bantu jaga tungku agar tetap menyala. Bantu mengupas bawang atau mengulek cabai. Setelahnya makan dengan lahap di lincak[2] depan rumah Mbok Itun. Masakan Mbok Itun lebih enak daripada buatan orang-orang dusun, katanya.
Semisal Mbok Itun sedang tidak berpunya, dia pergi ke warung. Dengan jari yang masih imut, dia tunjuk nasi. Ditunjuknya pula ayam goreng, tempe, kemangi, dan sambal. Terakhir, air putih. Kemudian dia duduk di bangku yang menghadap jalanan. Dia lahap sambil mengayun-ayunkan kaki. Habis. Jemarinya bakal diemut sampai pangkal. Segera berjalan ke belakang dan mencuci piringnya sendiri. Setelah itu dia cekikikan lalu pergi. Si empunya warung tidak pernah marah, tidak pernah menuntut ganti rugi. Dia merasa warungnya akan berkah sebab disinggahi penyintas suratan.
Di ladang, dia tolong mencangkul tanah. Tolong siram sayur-mayur atau—pada masa tertentu—tolong panen. Ketika dia hendak buang hajat, dia diajar untuk segera pergi ke sungai. Kata para buruh tani, dia harus berjongkok di pinggir lalu basuh pantatnya sendiri saat sudah selesai. Kalau pengin buang air, dia disuruh pergi ke pohon dan kencing di situ. Semisal hari terik, dia ikut buka baju. Dipungutnya daun-daun ketapang di pinggir ladang lalu mengibas-ngibaskannya ke badan. Sejuk dan enak.
“Bluk, kamu pergilah sekolah,” kata Pak Kades ketika Gebluk sudah umur tujuh.
Dia menurut. Pagi-pagi Gebluk sudah mandi, makan di rumah Mbok Itun, dan pergi sekolah. Dia duduk di barisan paling depan, bersitatap dengan papan. Namun dia tidak suka. Gebluk tidak suka duduk diam dan cuma mendengar. Dia pengin cekikikan. Dia pengin duduk di dangau sambil melepas panas. Dia pengin mendengar cerita-cerita bualan para buruh tani. Boleh juga berenang di sungai. Ada batu besar yang dapat digunakannya untuk terjun.
Ketika buang air, Gebluk tidak biasa buka-tutup keran dan mencedok-cedok airnya. Pun tak suka pakai baju berkerah dan sepatu. Jadi, Gebluk sering kena omel guru. Itu yang paling tidak disenanginya. Gebluk tidak senang diteriaki, tidak senang dipukul penggaris kayu, dan tidak senang berdiri satu kaki di lapangan. Maka Gebluk jadi suka bolos pelajaran; untuk bantu-bantu di ladang, main air di sungai, dan ongkang-ongkang di dangau sambil melepas baju.
Waktu sore dia ajak anak-anak dusun main. Di lapangan bakal penuh sorak dan sepakan kaki. Kadang tangis dan adu pukul sebab tak terima kalah main bola. Saat angin besar, layangan dijejer di langit. Adakalanya yang cuma menonton di pinggir berlarian sekadar mengaku layangan jatuh. Atau di sudut-sudut dusun bakal ditandingkan gundu dan adu jangkrik di waktu magrib. Yang terakhir paling disenangi Gebluk.