Sebidang tanah perawan kuyup bersimbah cahaya remang dari langit barat. Bagaimana bulan menggantung di atas sana, barangkali memang ditentukan dari awal. Kata orang desa, ia hidup berdasar suratannya. Dan bilamana begitu, yang ikut menerima guyuran temaram sinar bulan di bidang tanah perawan itu juga bernapas menurut suratannya. Maka tak perlu heran manakala rumah tepas itu dihiasi wajah orang papa.
Sambil bermandikan cahaya remang dari langit barat, Mbok Saripah terlihat makin jernih meski kulitnya bergelambir dan banyak kerut. Adapun benjolan tahi lalat sebesar pucuk kelingking di leher bergoyang ketika wanita tua itu mencari-cari sandalnya. Namun sekalipun kata orang berilmu benjolan itu adalah tumor, Mbok Saripah tidak pernah dibikin kecut. Nenek itu suka memasang senyum. Katanya untuk berolok-olok atas suratan yang dituliskan Sang Perakit Nasib.
Dan mudah saja membayang wajah Mbok Saripah saat sedang senyum. Matanya bakal menyipit karena terhalau gelambir pelupuk mata. Garis yang bermuara di samping bibir terlawan otot bibir sehingga terangkat beberapa senti jauhnya. Begitu juga kerut di sepanjang dahi Mbok Saripah, tersingsing sehingga terlihat makin tegas. Kemudian benjolan di lehernya akan menyembul dan bergelantung bebas.
Orang desa senang menengok senyum Mbok Saripah. Apalagi anak-anak, mereka senang berbalas senyum atau menyahut dengan cekikikan yang enak didengar. Bagi Mbok Saripah, tertawa juga sah untuk berolok-olok atas suratan. Justru, jika dimampukan untuk itu, Mbok Saripah pengin tertawa sepanjang sisa tahunnya. Hanya saja suratan tak membolehkan, napasnya malah dibikin pendek. Dada pun bakal perih kalau memaksa tertawa.
Maka hadirnya di subuh itu bukan sekadar menghirup udara bersih, Mbok Saripah sudah lengkap dengan setelan jamu gendong. Terutama hari ini tepat Selasa Pon—yang entahlah itu hari baik atau hari naas Mbok Saripah—sehingga selendang yang digunakannya juga harus istimewa: motif slobog. Mengapa slobog tidak ada yang tahu. Namun, orang desa bisa menduga: Mbok Saripah pengin menghirup napas yang paling akhir.
Meski begitu, Mbok Saripah tidak serta-merta menyumbat napasnya hingga wajah membiru. Atau, yang lebih menakutkan, menggorok leher sendiri. Mbok Saripah tetap bernapas sebagaimana suratannya. Dia pengin menempuh jalan yang ditakdirkan kepada dirinya tanpa melenceng ke kanan atau kiri. Hanya, dalam senyum sederhananya itu, orang desa sering mendapati kepasrahan hidup yang luar biasa.
Semisal dihitung siapa-siapa yang tidak senang dengan senyum Mbok Saripah, barangkali hanya Bawor seorang. Lihatlah, berkat lakunya bilangan bulan lalu, wanita tua itu kini harus merunduk-runduk agar bisa keluar dari pekarangannya sendiri. Bawor mengelilingi bidang tanah perawan itu dengan pagar onak. Orang desa yang berusaha menasihati Bawor lebih banyak pulang dengan menatap tanah. Bawor akan menunjukkan kertas berteken cap jempol orang tua Mbok Saripah sembari berkata, “Tanah itu sudah jadi milik saya.”