Seingatku, kalau tak salah ingat, patung di puncak gereja itu memang sengaja dihadapkan ke timur. Maka yang terjadi saban pagi: jago di atas sana menerima kucuran terang pertama sang matahari. Tentunya ia tidak akan berkeruyuk layaknya jago hidup, tetapi biasanya terdengar cicit sekumpulan burung gereja. Mereka sering kedapatan bertengger dan bermain di atasnya. Sayang, mereka suka beol di patung itu sehingga pengurus gereja pada gusar.
Ketika pengurus gereja bersambat mengenai laku burung cokelat itu, Bapak Gembala hanya tersenyum sambil memandangi puncak gereja. Dia kembali tersenyum saat pengurus gereja melarangnya membersihkan bercak-bercak di patung itu. Alasannya Bapak Gembala sudah tua, tubuhnya dirasa tak cukup kuat naik-turun tangga. Apalagi jika terjadi apa-apa, barangkali kepeleset dan jatuh dari ketinggian lima meter. Entahlah, siapa yang tahu. Pengurus gereja pun menggantikan pekerjaan itu.
Dalam pandanganku, patung ayam jantan di pucuk sana hanya sekadar hiasan. Boleh jadi sengaja dipasang supaya terlihat berbeda dari gereja-gereja lain. Bisa juga agar memikat lebih banyak jemaat. Atau apalah yang dipikirkan pendiri gereja itu. Namun Bapak Gembala memiliki pandangan yang lebih alkitabiah: itu sebagai pengingat atas penyangkalan Petrus terhadap Kristus. “Biar jemaat selalu eling[1] sehingga rajin beribadah,” tambahnya.
Maka tak heran bila setiap Minggu pagi, sebelum ibadah dimulai, Bapak Gembala merangkap sebagai pengatur lalu lintas di pertigaan jalan. Itu dilakukannya sejak tiga atau empat bulan lalu tanpa pernah mengaduh. Dia selalu pasang wajah cerah, meski rambutnya beruban dan gersang di ubun-ubun. Namun, yang aku sadari; jemaat gereja waktu itu malas sembahyang. Tempat duduk pada rumpang. Si pengkhotbah seolah mendakwahi kursi kosong.
Kalau Bapak Gembala bertanya mengapa tidak pergi ke gereja, yang ditanya biasanya hanya cengar-cengir. Kadang disertai garuk-garuk kepala atau pura-pura linglung. Bapak Gembala tersenyum dan tidak bertanya lagi. Dia sudah tahu jemaat gereja suka belok ke timur sambil mengepit ayam jago. Di sisi sanalah terjadi penyangkalan terhadap Kristus besar-besaran. Para reinkarnasi Petrus mengitari gelanggang tripleks sembari berteriak menggacokan salah satu ayam.
Ayah pernah mengajakku ke sisi timur sekadar menemaninya mengadu jago. Dia suruh aku lihat betapa hebat ayam peliharaan kami. Benar saja, jago kami berhasil meluruhkan bulu jago lain, plus membuat sayatan di tubuh dan leher. Dan semenjak itulah aku tidak berani dekat-dekat dengan jagoku sendiri. Barangkali ia bakal mengamuk karena terus dipaksa beradu, jadilah aku dibuat samsak. Aku nanti berdarah-darah kena tajinya. Hi, ngeri.