Ingar-bingar manusia kota tidak pernah hangus terpanggang terik. Ada puluhan mikrolet menaik-turunkan penumpang. Kadang disembur bising klakson karena si sopir suka berhenti mendadak. Sebuah truk terguling di pinggir jalan provinsi akibat as rodanya patah. Orang-orang berdatangan. Kemudian buru-buru pulang sembari menenteng karung atau plastik hitam yang gemuk. Dalam kegembiraan itu, mereka tak sadar: si sopir menangis, bingung bagaimana harus mengganti rugi barang yang dijarah warga.
Dan barangkali hanya Darsan yang terhuyung-huyung setelah setengah hari terguyur panas. Dia duduk di trotoar sambil menyeka wajahnya yang penuh keringat. Tak jauh darinya, seorang penjaja koran ikut duduk untuk melepas pening. Juga mengelap wajahnya yang berkeringat. Lelaki itu tampak kusut. Namun bukan oleh terik, melainkan sebab korannya masih bertumpuk-tumpuk. Tidak laku. Boleh jadi sekarang orang lebih senang melihati kotak tabung milik Pak Lurah, pikir Darsan.
Darsan kemudian menengok dagangannya sendiri. Yakni, balon warna-warni yang condong searah tiupan angin. Kadang condong ke arah sebaliknya ketika kendaraan besar lewat. Wajah Darsan yang berdebu kelihatan makin cerah ketika dia tiba-tiba tersenyum kecil. Muncul mata yang bening dan tulus dalam pelupuk keriput yang terkulai pasrah. Nasib lelaki tua itu sama. Balonnya juga tidak laku. Hanya, wajah Darsan tidak kusut. Dia bisa maklum. Akhir-akhir ini musim tulup, bocah pada main itu.
Akhirnya Darsan beranjak ketika gareng[1] kembali membisingkan kota. Dia pun sebenarnya tak tahan dikencingi serangga itu. Ada tetesan-tetesan aneh jatuh menimpa kepala. Tentu bukan rintik hujan, apalagi ludah pengendara motor. Bukan pula sisa embun pagi hari. Siang ini langit biru bersih dan bulatan silau yang digantung sendirian itu seolah menguasai langit.
Dipegangnya batang bambu kuat-kuat. Ada puluhan benang kasur yang melilit batang berdiameter dua setengah senti itu. Mereka tertarik tegang ke atas, berusaha menjaga balon agar tidak terbang bebas. Darsan senantiasa menjaga kekuatan otot jemarinya. Bukan karena dia takut batang bambu itu bakal ikut terbawa ke langit. Namun, karena bambu adalah saksi bisu perjuangannya mengusir orang luar dari Ibu Pertiwi.
Dia belum lupa suatu subuh tahun 1947, sebelum orang luar pada bangun, Darsan sudah sibuk meruncingi bambu. Dia panggul bambu tadi dengan langkah mantap menuju semak samun di jalan pinggir hutan. Barikade bambu disusun tepat di tanjakan yang berkelok, sedang para gerilyawan bersembunyi di sekitar. Mereka sabar menanti orang luar lewat. Sergapan itu nyatanya sering berhasil hingga membikin jengkel musuh yang hendak menuju kota.