Parkiran yang serbaramai itu sedikit longgar setelah sebuah pikep pergi. Di baknya ada perabot jati yang diukir bagus sekali. Pasti si perajin mencermati karyanya baik-baik. Perabot itu diampelas sampai licin lalu divernis hingga gilap. Dan konon, semisal Kartakum tidak salah dengar, perabot itu dilego dengan harga tembus enam angka nol. Memang layak, pikirnya. Kemudian Kartakum mengagumi karya si perajin untuk terakhir kali. Malah, dia mengkhayal tangannya memegang tatah dan palu. Kartakum siap mengukir perabot jati.
Ah, Kartakum suka lupa. Tangannya lebih pantas memegang sempritan. Dia pun sering beranggapan tangan perajin dan tangan juru parkir sebenarnya sama. Tangan mereka memiliki kuasa. Yang satu berkuasa atas kayu-kayuan, satunya lagi berkuasa atas mesin-mesinan. Bahkan sanggup memerintah manusia-manusia hidup. Kartakum, orang tidak berpunya yang boleh mengatur sekaligus menyemprit orang berpunya. Juru parkir lebih hebat, orang bisa kuperintah kiri-kanan maju-mundur! Begitu serunya kepada diri sendiri.
Dan pikep yang mengangkut perabot jati itu adalah tugas terakhir Kartakum sebelum dia makan siang. Di dekat kaveling tempatnya berkuasa, ada warung kecil milik Yuning yang memakan setengah lebar trotoar. Kartakum tiap hari makan-berteduh di situ. Untungnya Yuning tak pernah mempermasalahkan lelaki itu. Yuning malah tak pernah menagih ongkos minum. Kartakum bebas minum sebanyak-banyaknya. Gratis.
“Ning, aku pesan lodeh. Kasih kerupuk juga, ya?”
Yuning tersenyum. Dia membuka tutup penanak nasi. Uap air menggulung-gulung ke atas. Sekian detik kemudian lenyap, membaur bersama udara. Kartakum menengok penanak listrik itu, entah kali yang kesekian, dia masih tergelitik oleh laku jahil Yuning. Perempuan itu diam-diam maling listrik. Dia pasang steker di stopkontak milik sebuah cabang bank swasta. Dengan begitu, dia tidak perlu masak nasi dari rumah, yang kadang suka mengering terpanggang panas matahari.
Wajah Kartakum tiba-tiba bercahaya ketika seorang berpunya memarkirkan motornya. Itu Harley Davidson, motor paling bagus selama Kartakum menjadi juru parkir. Kartakum lantas menegakkan punggungnya, dia merasa hebat. Ditengoknya kaveling sebelah sana dan situ yang dijagai sesama kawan juru parkir, tidak ada satu pun yang lebih hebat dari kavelingnya. Malah, ada yang diisi motor bebek rakitan. Kartakum tidak bisa berhenti terkekeh karenanya.
Dan meski Kartakum tidak perlu tahu mengapa Harley Davidson terparkir di wilayah kavelingnya, toh dia tetap penasaran. Matanya tak bisa berpaling dari sosok lelaki berpunya itu. Langkahnya seolah mampu menyibak debu jalanan. Begitu mantap dan gagah. Apalagi pakaiannya yang serba hitam. Memang sangat pantas, pikir Kartakum.
“Ning, coba tengok, ada motor bagus di parkiranku.”
“Ah, kamu suka mengada-ada. Itu kan jelas bukan punyamu.”
Kartakum terkekeh. “Tetap saja motor bagus itu parkir di wilayahku. Aku bilangi, ya, inilah yang disebut kehormatan seorang juru parkir.”
“Kamu sering bilang begitu.”
“Tapi ini beda. Lihat baik-baik, itu Harley Davidson!”
“Alah, sama saja seperti kebanyakan motor.”
“Itulah karena kamu tidak paham kehormatan juru parkir. Ah, iya, aku lupa. Kamu kan penjual nasi, kehormatanmu datang saat orang berpunya makan daganganmu.”