Kakek Darki bisa maklum kalau lelaki berkemeja batik itu menyilangkan tangannya sebagai tanda kurang berkenan. Dia tanpa sungkan bertindak demikian sebab, katanya, seorang lurah memang harus cepat ambil keputusan. Maka Kakek Darki tersenyum kecut sambil membayang tiga ayamnya yang mau bertelur itu harus disembelih. Padahal, dia sudah menunggu puluhan hari agar si betina mau kawin. Pun Kakek Darki sudah kegirangan saat ia mencucukkan jari telunjuk ke dubur ketiga ayam betinanya. Namun mereka harus jadi santapan banyak orang kalau hajat Kakek Darki mau dipenuhi Pak Lurah.
Kakek Darki jadi ragu. Dia tidak mau rumahnya dibongkar paksa orang pemerintahan. Juga tak mau ayam-ayamnya disembelih sehingga kesulitan makan telur. “Tapi, saya sudah tak punya kerabat. Melarat pula. Apa tak ada bantuan untuk saya?” tanyanya memelas.
“Setahu saya, Kek Darki punya ayam.”
“Ah, Pak Lurah masa tidak kasihan sama saya? Kalau mereka disembelih, saya bakal tambah melarat dan kesepian. Bagi saya, ayam-ayam itu sudah laiknya kawan dan harta.”
“Wah, sulit. Kek Darki punya hajat, tapi tidak mau bikin hajatan. Serakah itu namanya.” Kakek Darki terbengong dan Pak Lurah tetap melanjutkan penolakannya, “lagi pula saya heran sama Kek Darki, mana lebih penting: punya ayam atau rumah?”
Kakek Darki makin hening. Dia membayang Darki gembel yang ditemani sekumpulan ayam dan Darki melarat yang teduh dipayungi genting lama. Benar juga perkataan Pak Lurah, dirinya terlalu serakah. Ah, dia akhirnya tersadar; zaman sekarang hajatan itu wajib meski kamu orang melarat. Kemasygulan Kakek Darki pun makin teruk. Dan lelaki tua itu akhirnya pulang tanpa memberi jawab pertanyaan Pak Lurah.
Tinggal satu hari sebelum tenggat yang dijatuhkan orang pemerintahan habis. Begitu pula satu hari sebelum ketiga ayam betinanya bertelur. Kakek Darki tidak bisa berhenti memikirkan rumah atau ayam. Mengingat besok dia ditagih pindah dari tanah negara, boleh jadi telur yang jebrol jadi hak negara. Kakek Darki harus bayar pajak kalau mau mengaku telur itu miliknya. Atau bahkan ayam-ayamnya ikut disita. Dalam lamunan itu, dirinya bakal kian melarat; gembel dan kelaparan.
Kakek Darki jadi ingat puluhan tahun lalu. Waktu matahari baru melek, modin kampung sudah sibuk menggembar-gemborkan Sumkil hendak pindahan. Beberapa hari sebelumnya, orang berpunya itu habis jual tanah. Sekarang rumahnya yang panggung itu pengin diboyong ke tanah lapang dekat sawah. Tentu tanah lapang itu ada surat resminya, bukan milik pemerintah seperti kepunyaan Kakek Darki.