Maka matilah Olong, tua dan lanjut umur. Paling tidak, kurasa, beginilah awalan yang bagus supaya aku dapat bercerita dengan leluasa. Pertama-tama kuseruput dulu kopi yang kadung[1] dingin ini. Ah, tak apa kurang sedap selama kamu bisa duduk dan asyik mendengar cerita Olong tua yang mati di pinggir jalan. Jangan pula bersoal terlebih dulu, meski aku tahu kamu sudah bertanya-tanya kepada diri sendiri. Misal, perihal cangkir seng yang berkarat ini atau perihal kursi rotan yang peok ini. Sengaja aku pakai agar kamu bisa duduk mendengar di sofa yang nyaman sambil menyesap kopi. Tentu, bukan memakai cangkir seng yang berkarat.
Waktu itu gelas seng ini belum berkarat. Ia masih putih mulus dengan bercak hijau awut-awutan. Pun berisi kopi, tapi belum dingin. Satu cangkir istriku berikan kepada Olong dan satu lagi kepadaku. Kami, Olong dan aku, duduk bersihadap dan bersipandang. Rasa-rasanya kami jadi muda kembali. Belum ada keriput di dahi atau gelambir di belakang dagu. Malam itu Olong sangat gelisah. Bahkan sebelum akhirnya Olong minta dibuatkan kopi, dia telah duduk membisu selama setengah jam.
Dan kopi Olong tanpa gula, katanya untuk meratapi hidupnya yang pahit. Dia seruput kopinya dalam keheningan. Kegelisahan di wajah yang penuh susah payah itu sedikit luruh. Kemudian Olong menyandarkan punggung di kursi rotan yang saat ini kupakai bercerita. Jangan pula bertanya waktu itu aku duduk pakai apa. Aku duduk dengan kursi jati, hadiah karena anakku menang lomba tujuh belasan. Meski keras dan tidak cocok dengan punggungku, tak mengapa kalau Olong bisa sedikit lega.
“Tiap hari aku takut,” kata Olong tiba-tiba.
“Karena berita akhir-akhir ini?”
“Ah, kamu selalu bisa pengertian.”
“Tidak juga, aku bahkan tidak mengerti kenapa kamu takut. Malah, aku heran. Kamu kan tidak lagi mangkal di pasar atau terminal.”
Olong urung menyesap kopi, dia taruh cangkir itu perlahan. Wajahnya tiba-tiba kusut. “Ya, tapi itulah yang menghantuiku tiap saat. Ketika aku mau belanja kebutuhan warung atau naik kendaraan umum di terminal, orang-orang seperti menaruh takut dan curiga. Bahkan, kurasa, istrimu juga begitu.”
“Ah, yang benar?”
Udara dingin masuk dan lampu teplok yang kugantung makin redup. Olong tidak segera menjawab, rumah gedek ini berasa kian lengang. Istriku juga tidak mau muncul dari dalam kamar. Barangkali Olong memang benar.
“Tapi kutegaskan, kamu kan sudah tidak menagih pajak sambil memberi ancaman pentung atau tinju. Itu pun sudah lama terjadi. Tengok, kini istrimu buka warung dan laku.”
“Kamu salah. Nyatanya waktu istriku sakit dan aku menggantikan dia jaga warung, orang pada sungkan belanja. Ada yang tidak jadi beli, bahkan orang rela tidak terima kembalian. Padahal, aku sudah paksa dia terima uang yang memang haknya itu. Kamu pikir dia begitu karena apa? Ya, apa lagi karena aku mantan preman, bukan?”
Aku langsung menoleh ke kiri, ke kamar yang pintunya ditutup rapat. Olong mengikuti lakuku. Kemudian dia menunduk. Kupikir, lakunya membenarkan pertanyaan yang menggantung di batin; apa istriku juga berlaku demikian?
Hari makin suntuk, makin lengang, dan makin dingin. Entah mengapa jangkrik tidak mau bersuara dan burung pungguk enggan bersiul. Dari jauh bisa kudengar samar kentongan dipukul sebelas kali. Itu tanda sekarang pukul sebelas malam. Kopi pun sudah habis dan istriku tidak pernah keluar kamar setelah membikinkan kopi untuk kami berdua. Ah, kupikir dia kelelahan setelah seharian mengurus rumah. Apalagi anakku yang bungsu masih suka mengompol. Atau gara-gara ada Olong di sini, ah entahlah.