Adapun sosok Eyang Loma, sejak dulu saya selalu dibuat habis akal. Beberapa tahun lalu, beliau menolak rumah berian seluruh warga desa. Saya masih ingat waktu itu Eyang Loma memegangi pancang bambu rumahnya sambil berkata, “Terima kasih banyak, tapi saya lebih nyaman tinggal di rumah saya sendiri.” Tentu saja kami semua langsung melongo. Kerja keras sekian minggu agaknya tidak berbuah manis, kecut malah.
Pikir kami, Eyang Loma sebagai sesepuh desa yang senang memberi wejang berhak menempati rumah yang lebih layak. Bukan rumah bambu reyot yang telah berdiri puluhan tahun. Yang celakanya pula, Pak Camat menuduh kami menelantarkan Eyang Loma. Oh Tuhan! Namun sampai sekarang kami selalu percaya, rumah bata yang telah kami bangun beramai-ramai itu tetap milik Eyang Loma.
Dan kali ini, saya dibuat terheran-heran karena sejak awal bulan Eyang Loma mengenakan seragam model pejuang, lengkap dengan lencana merah putih. Saban hari beliau mengayuh sepeda, menjaja es lilin memakai pakaian itu. Kami tersenyum saja, mengira beliau ikut beragustusan. Ya, pikiran yang sederhana. Dan bila kami memanggilnya sekadar jajan es lilin, Eyang Loma selalu membusung dengan gagah. Ah, ini cukup lucu. Bulan Agustus yang kemarin-kemarin, Eyang Loma tidak pernah berbuat demikian.
Lucunya lagi, ketika saya tanya mengapa beliau berpakaian seperti itu, beliau menjawab dengan buru-buru dan lantang, “Pak Kades, tahu? Percaya tidak percaya, sebetulnya saya ini berjasa besar bagi negara.”
“Berjasa bagaimana, Eyang?” tanya saya sambil mesam-mesem.
“Lo, Pak Kades jangan cengengesan. Pak Kades tidak lihat lencana ini? Benaran tidak lihat? Inilah bukti saya berjasa besar bagi bangsa dan negara! Andaikata, ini cuma andaikata saja lo Pak Kades, misal saya tidak punya lencana ini, boleh jadi para pejuang itu tidak bisa membiayai kebutuhan perang.”
“Maksudnya bagaimana, Eyang?” tanya saya lagi, kali ini dengan serius.