Segara Lara

irishanna
Chapter #2

Fragmen #1

21 September 1970  

Perempuan dan kesempatan adalah dua hal yang seolah tidak bisa berdampingan. Tinggal di Kertayodya, sebuah kota dengan pendidikan terbaik di Nusantara, justru mendatangkan ironi bagi Ruminah. Kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi tidak bisa didapatkannya. Ruminah harus mengubur mimpinya menjadi seorang guru demi membantu menyokong perekonomian keluarga.

Mulanya, Mustaman dan Sulastri tidak rela jika putri sulung mereka harus putus sekolah. Namun, Ruminah bersikeras untuk ikut bekerja lantaran tidak tega melihat kedua orang tuanya harus banting tulang dari pagi hingga petang.

Selepas mengundurkan diri dari sekolah saat kelas satu SMP, Ruminah memilih menemani ibunya untuk berjualan lemper. Mereka mengantar pesanan ke kantor-kantor pemerintahan, perusahaan, dan berbagai instansi di pusat kota.

Namun, mimpi buruk menghantui Ruminah semenjak menyaksikan kejadian empat tahun lalu. Peristiwa itu membuat perutnya terasa mual dan seperti diremas-remas setiap kali melihat lemper. Kaki dan tangannya langsung lemas ketika suara rintihan perempuan yang ditemuinya kala itu kembali terngiang. Insiden tersebut masih terpatri dalam benak Ruminah hingga kini. Tanpa satu orang pun mengetahui.

Ruminah memohon-mohon pada ibunya untuk tidak berjualan penganan itu lagi. Tidak tega melihat putrinya sampai berlutut sembari terisak-isak, Sulastri pun mengalah dan beralih berjualan jenang.

Berhubung Sulastri memiliki riwayat lemah jantung, Ruminah menggantikan peran ibunya untuk mengantar pesanan ke pelanggan. Sementara Sulastri berjualan di pasar dekat tempat tinggal mereka agar tidak terlalu kelelahan.

Jumlah pesanan hari ini dua kali lipat biasanya. Ibu dan anak itu mulai memasak sejak malam sebelumnya. Dua adik kembar Ruminah, Tuti dan Wati, juga turut dikerahkan untuk ikut membantu. Mereka terpaut usia dua tahun dengan Ruminah.

Tuti dan Wati ditugaskan untuk memarut kelapa dan memeras santan, sedangkan Ruminah mengaduk adonan dalam wajan. Lantaran di daerah rumah mereka belum ada listrik, mereka menggunakan lampu teplok sebagai penerangan.

Sembari membuat jenang, mereka gemar menyenandungkan lagu “Sepanjang Jalan Kenangan” yang dinyanyikan oleh Tetty Kadi. Sejak pertama kali mendengar lagu itu, Ruminah langsung dibuat jatuh hati. Iramanya terdengar syahdu dan liriknya mudah diingat. Sebenarnya ia ingin mengoleksi album kaset Tetty Kadi, tetapi Ruminah mengesampingkan egonya demi mencukupi kebutuhan keluarga.

Pekerjaan mereka baru selesai menjelang subuh. Ruminah menyeduh secangkir kopi hitam untuk ayahnya. Ia lantas menghampiri Mustaman yang tengah duduk di ruang tamu selepas pulang salat Subuh di masjid.

Monggo diunjuk, Pak.––Silakan diminum, Pak,” kata Ruminah seraya duduk di sebelah Mustaman. Sudah menjadi kebiasaan Ruminah untuk membuatkan Mustaman minuman kesukaannya, sebelum sang ayah bersiap pergi bekerja.

Penghasilan Mustaman sebagai buruh tani hanya cukup untuk makan sehari-hari. Harga kebutuhan pokok yang melambung membuat masyarakat pada saat itu mau tidak mau harus mengencangkan ikat pinggang. Tak jarang pula ia harus mencari pekerjaan tambahan setelah lelah bekerja seharian.

Kendati fisiknya tidak sempurna, Mustaman tidak pernah mengeluh. Kakinya pincang karena saat muda ia pernah jatuh dari pohon kelapa.

Matur nuwun, ya, Nduk.” Mustaman berkata seraya menerima uluran gelas dari Ruminah. “Hari ini istirahat di rumah saja, Nduk. Kasihan kamu, pasti kecapekan kerja terus. Jangan sampai sakit. Sekali-kali kamu pergi sana sama teman-temanmu. Sudah lama juga kan kamu ndak ketemu mereka.”

“Bapak tenang saja. Rum akan jaga kesehatan. Lagi pula, hari ini pesanan sedang banyak, Pak. Ada pelanggan yang keponakannya mau hajatan. Rum juga senang kok bisa jualan. Nanti uangnya buat perlengkapan sekolah Tuti sama tabungan kaki palsu buat Wati. Rum pengin bisa membahagiakan adik-adik.”

Nahas, nasib malang menimpa Wati lima tahun lalu. Kaki kanannya harus diamputasi setelah ditabrak oleh seorang pengendara mobil yang mengebut. Orang itu langsung kabur tanpa mau bertanggung jawab. Karenanya, Ruminah bertekad mencari uang sebanyak-banyaknya agar bisa membelikan kaki palsu untuk Wati. 

Lihat selengkapnya