Sesampainya di jalan besar tempat bus-bus biasa mangkal, Gunawan membukakan pintu untuk Ruminah. “Terima kasih, Mas.” Dengan gugup sekaligus berseri-seri, Ruminah menerima uluran tangan Gunawan untuk membantunya turun. Pintu mobil kembali ditutup, tetapi jantung Ruminah tak henti berdegup.
“Perlu saya temani sampai busnya datang?”
“Ah, ndak perlu, Mas. Sebentar lagi juga pasti datang, kok. Mas Gun pulang saja ndak apa-apa.” Dalam hati, sebenarnya Ruminah masih ingin berlama-lama dengan Gunawan. Namun, ia tidak ingin bunyi genderang dalam rongga dadanya bisa didengar oleh pria itu.
Berbincang dengan Gunawan kerap membuat Ruminah lupa waktu. Seharusnya ia sudah bisa pulang bakda Asar, tetapi ia baru selesai bakda Magrib. Padahal lima pelanggan yang tersisa, tinggal di Kelurahan Nampilan dan Nataprajan yang sama-sama terletak di Kecamatan Nampilan. Jalanan sudah sangat sepi dan tidak ada kendaraan yang lewat. Bus yang menuju rumahnya juga sudah tidak beroperasi pada jam itu. Terpaksa Ruminah berjalan kaki.
Ketika sampai di dekat Asrama Polisi daerah Pathukan, tiba-tiba ada sebuah mobil Jeep yang berhenti di depannya. Ruminah berhenti sejenak, waspada. Perlahan ia mundur dan bersiap untuk lari dari sana. Bayang-bayang cerita pemerkosaan yang terjadi tiga bulan lalu, sontak terlintas di kepalanya. Ketika hendak lari ke Asrama Polisi, seorang laki-laki turun dari kursi pengemudi.
“Rum? Itu kamu, bukan? Ruminah?” Suara laki-laki itu tidak asing di telinga Ruminah. Lantas ia melanjutkan untuk meyakinkan gadis itu bahwa mereka sudah saling mengenal. “Ini aku, Kresna. Kamu masih ingat aku, ndak? Kita dulu sering ketemu di Maliabara, waktu kamu masih jualan di sana.”
Wajah pria itu semakin jelas terlihat saat ia akhirnya berada tepat di depan Ruminah. Kelegaan membanjir di dada Ruminah. Ia ingat betul siapa Kresna, karena dulu mereka bisa dibilang cukup dekat. Terakhir kali ia bertemu dengan Kresna sekitar satu tahun lalu.
“Oalah, kamu tho. Aku kira siapa.” Keduanya seumuran, sehingga Ruminah bisa santai menyapa Kresna. Kala itu, Ruminah belum menyadari kalau ada tiga orang lain yang menunggu di mobil.
“Lama banget kita ndak ketemu, ya. Kamu tiba-tiba ngilang gitu, ndak pamit-pamit sama aku. Harusnya kamu bilang kalau ndak jualan lagi di Maliabara. Aku nyari kamu, lho,” ujar Kresna.
“Ah, yang benar? Kenapa kok kamu sampai cari aku segala?”
“Lho, ya tenan, tho. Masa aku bohong. Sampai aku ndak bisa tidur berbulan-bulan lho gara-gara kangen.” Lalu mereka tertawa bersama. Ruminah tidak menanggapi hal itu dengan serius, karena dulu mereka terbiasa saling melemparkan guyonan. “Tak antar pulang, ya, Rum? Masa kamu jalan kaki ke Gadean. Jauh banget, lho. Sudah malam juga. Bahaya.” Kali ini Kresna tampak serius dan nada bicaranya terdengar khawatir.
“Ndak usah. Ndak enak ngerepoti kamu. Wis ndak apa-apa, aku sudah biasa.”
“Ayo, Mbak. Nggak usah malu-malu. Kami cowok baik-baik kok,” ujar seorang penumpang yang duduk di samping kemudi. Ucapan itu diiringi tawa kedua temannya.
Ketiga orang itu berbisik-bisik sembari mengamati Ruminah dari atas kepala hingga kaki. Firasat Ruminah menjadi tidak enak.
“Wis sana kamu pergi aja. Aku mau jalan kaki. Aku ndak mau ngerepoti,” ujar Ruminah seraya mengibaskan tangan pada Kresna.
“Jual mahal amat cewek lo, Kres. Orang miskin tapi gayanya selangit. Harusnya dia ngaca dulu. Dari bajunya aja kelihatan kayak orang kampung!” celetuk salah seorang yang berada di jok belakang.
“Sudah, ndak usah dimasukkan hati. Mereka anak-anaknya kolega bapakku. Baru pindah dari ibu kota beberapa bulan belakangan buat kuliah di sini. Aku juga ndak dekat sama mereka,” bisik Kresna pada Ruminah. Namun, gadis itu telanjur sakit hati. Ruminah pun mendatangi orang yang tadi merendahkannya.
“Cepat minta maaf ke saya, Mas,” tegas Ruminah.
“Ngapain? Emang lo siapa? Cuma tukang jualan keliling aja belagu!” Kedua orang lainnya tertawa menimpali celaan temannya.
“Mas sudah menghina saya. Walaupun saya orang kampung, setidaknya saya bisa menjaga lisan. Ndak seperti sampean. Cepat minta maaf!” Bentakan Ruminah rupanya lebih keras daripada yang ia rencanakan. Namun, ia tidak peduli. Orang-orang itu sudah memperlakukannya dengan semena-mena.
Orang yang tadi mengatai Ruminah turun dari mobil dan berdiri di hadapannya. Namun, bukan permintaan maaf yang ia terima, melainkan kecupan tiba-tiba yang mendarat di pipi Ruminah.
“Kamu tambah manis kalau lagi marah. Coba lebih marah lagi.”