Kokok ayam mulai terdengar di kejauhan. Kresna mengecek arlojinya yang ternyata menunjukkan pukul empat pagi. Peristiwa semalam membuatnya seolah linglung, tidak bisa berpikir apa-apa. Otaknya kosong. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Semalaman ia hanya bisa melamun dengan lelehan air mata yang tidak berhenti mengalir.
Baru semalam Kresna mengetahui bahwa penculikan dan pemerkosaan yang terjadi tiga bulan lalu juga merupakan perbuatan mereka. Katanya hanya untuk bersenang-senang. Korban digeletakkan begitu saja di tepi jalan di daerah dataran tinggi sebelah utara Kertayodya.
Tebersit pikiran untuk menghabisi nyawa mereka. Namun, niat itu ia urungkan lantaran teringat pesan ibunya. “Jangan pernah mendahului takdir Tuhan. Seberat apa pun masalah yang kamu hadapi, sejahat apa pun orang memperlakukanmu, kita selalu punya hakim paling adil. Biarkan mereka mendapat balasan atas perbuatannya suatu saat nanti.”
Tiga orang bengis itu masih tertidur pulas. Setelah kesadaran Kresna kian solid, keberanian mulai merayap dalam dadanya. Isi kepalanya mulai lebih jernih dan ia bisa berpikir apa yang akan dilakukan setelahnya. Melihat kondisi Ruminah yang memprihatinkan, hatinya tercabik-cabik.
Empat tahun memendam perasaan bukanlah waktu yang sebentar. Bahkan hanya untuk menyatakan perasaannya saja ia tidak punya nyali. Wajah yang dulu terlihat selalu cerah, berubah menjadi pucat dan seperti seonggok mayat. Bola matanya yang bening dan menampakkan kecerdasan pun seketika hilang. Mata itu kini mengatup. Kresna hanya bisa termangu memandangi Ruminah.
Bulir bening kembali menetes di pipinya. Masih jernih dalam ingatan bagaimana pertama kali mereka bertemu. Kala itu Kresna tengah menemani orang tuanya untuk membeli kain batik di Maliabara, sebuah kawasan wisata belanja yang banyak menjajakan barang-barang khas dari Kertayodya.
Pandangannya tak sengaja tertumbuk pada sosok gadis berkepang dua, dengan terusan polos selutut berwarna cokelat muda. Binar mata gadis itu tampak cemerlang meski matahari tengah membakar kota dengan gagahnya. Perempuan itu duduk di emperan toko, tak jauh dari Pasar Beringharja, untuk menjajakan jenang. Jenang-jenang itu diletakkan dalam sebuah bakul yang berada di depannya.
Saat orang tua Kresna sedang sibuk memilih-milih kain, muncul dorongan untuk menghampiri gadis berparas manis itu. Kulitnya tampak sawo matang, rambutnya kecokelatan. Mungkin karena terlalu sering terpanggang matahari, pikir Kresna. Namun, kecantikan khas Jawa-nya begitu terpancar. Dengan hidung bangir dan bibir tipis merah muda, penampilannya tampak sempurna di mata Kresna. Ia pun mendatangi gadis itu dan dibalas dengan sapaan.
“Mau beli jenang, Mas?” tanyanya. Suaranya tidak hanya lembut, tetapi juga berhasil membius Kresna. Ia hampir kehilangan pijakan dari kenyataan. Deburan jantungnya seakan-akan dapat memekakkan telinga. Ia khawatir kalau gadis ayu itu akan dapat mendengarnya. Tanpa sadar, Kresna memegangi dada kirinya, seolah-olah tengah melindungi jantung itu supaya tetap di tempat.
Tubuh Kresna begitu kaku seperti balok kayu. Ibarat ada paku besi yang menancap di kakinya, hingga membuat ayunan langkahnya terhenti seketika. Dengan gagap, Kresna menanggapi pertanyaan itu. “Em, anu, Mbak. Endak. Cuma pengin lihat saja.” Kresna lantas merutuki kebodohannya. Jawaban opo kuwi? Gemblung tenan, batin Kresna seraya menyalahkan dirinya sendiri.
“Mas ndak pernah lihat jenang po? Kok mau lihat segala.” Gadis itu mengernyit, tampak keheranan dengan respons Kresna.
Dalam kepalanya, Kresna berusaha mencari jawaban yang tepat. “Eh, anu, Mbak. Saya pengin lihat Mbak-nya.” Edan tenan iki bocah! Sadar, Kresna! Sadar! Saat itu juga, Kresna ingin menampari pipinya sendiri. Ia menghitung kemungkinan kalau gadis itu akan tersinggung dan malah pergi.
Kresna pun bersiap kabur lantaran takut dirinya akan dilempari sandal atau bahkan jenang-jenang itu. Namun, gadis itu malah tertawa sampai matanya berair ketika mendengar ucapan Kresna.
Setelah bisa menguasai diri dan tawanya mereda, ia pun menjawab, “Mas é lucu banget. Aku sampai ndak bisa berhenti tertawa.” Kresna hanya bisa menyunggingkan bibirnya dengan rikuh. Obrolan mereka pun mencair setelah gadis itu mengulurkan tangannya, bermaksud untuk berkenalan dengan Kresna.