Hangatnya sinar matahari membungkus badan Ruminah selayaknya sebuah selimut hangat. Namun, kenyamanan itu tidak bisa dirasakannya sedikit pun. Jiwanya telah mati rasa.
Kebiadaban para binatang itu membuat rencana-rencana yang sudah tercanang dalam benak Ruminah terancam tidak dapat dilaksanakan. Berbagai kemungkinan buruk menghancurkan dinding-dinding harapan yang telah susah payah ia bangun. Pikiran-pikiran itu menggerogoti isi kepala Ruminah yang kadung tenggelam dalam lautan kesengsaraan.
Kenapa semua ini harus terjadi padaku? Apa salahku?
Siapa yang mau menjadi pelanggan seorang perempuan kotor sepertiku? Siapa yang masih akan percaya padaku? Bagaimana dengan kaki palsu Wati? Biaya sekolah dan kuliah untuk Tuti? Pengobatan Ibu? Bagaimana aku bisa membantu Bapak untuk memenuhi kebutuhan kami? Bagaimana kalau orang-orang mengusir kami dari kampung? Kami harus tinggal di mana?
Seharusnya aku bisa melarikan diri. Seharusnya aku berani untuk melawan. Seharusnya aku memakai pakaian yang lebih tertutup. Seandainya aku bisa menjaga diri, mengenakan celana panjang dan baju yang longgar, mungkin mereka tidak akan memperkosaku. Bodohnya aku! Bodoh! Bodoh! Bodoh!
Kedua tangan Ruminah memukul-mukul kepalanya terlampau keras. Tak lagi terdengar isakan yang keluar dari mulut perempuan itu. Sebab, ada bongkahan batu yang menyumpal tenggorokannya.
Setelah ini, bagaimana aku bisa mewujudkan mimpi-mimpiku? Bagaimana aku bisa menjalani hari-hari seperti sedia kala? Bagaimana keluargaku? Aku telah membuat malu keluarga! Aku hanya menjadi beban untuk mereka! Semuanya gara-gara aku! Aku tidak berguna!
Dan, Mas Gun. Bagaimana dengan Mas Gun? Apakah dia masih akan menerima perempuan hina sepertiku? Apakah kami masih punya masa depan? Dasar bodoh! Sadar, Rum! Pasti dia tidak akan sudi bertemu denganku lagi. Aku tidak pernah pantas untuknya.
Apa aku mati saja? Hidupku sudah tidak ada nilainya. Semuanya sudah hancur. Masa depanku sudah hancur. Tidak ada gunanya aku hidup.
Dengan sedu yang tertahan, Ruminah menepuk dadanya berulang kali untuk menghilangkan rasa nyeri yang menghunjam ulu hati. Ia memerlukan waktu satu jam untuk menata ulang kepingan batinnya yang berserakan di mana-mana.
Tapi, kalau aku mati, bagaimana nasib keluargaku? Bagaimana kalau penyakit Ibu tambah parah? Bagaimana kalau Wati tidak pernah bisa berjalan lagi? Jangan sampai Tuti ikut putus sekolah. Tuti harus jadi sarjana. Jangan sampai Bapak terlalu lelah bekerja. Bapak dan Ibu harus istirahat di masa tuanya.
Tatkala mengingat keluarganya, Ruminah mendapat dorongan untuk bangkit berdiri.
Kalau aku hancur, mereka harus lebih hancur! Aku akan menghancurkan keluarga dan masa depan mereka! Aku tidak akan membiarkan mereka hidup enak di luar sana!
Kini, Ruminah hanya ingin melakukan satu hal. Balas dendam. Orang-orang bejat itu harus menerima akibatnya. Kalau perlu harus mendekam di penjara seumur hidup atau bahkan menerima hukuman mati karena telah menghancurkan fisik serta mentalnya.
Seiring dengan semakin utuh kesadarannya, Ruminah mencoba bangkit berdiri dan mulai melangkahkan kaki ke jalan besar. Sekujur tubuhnya terasa nyeri, terutama di bagian organ vital. Kelebat bayangan kelam kejadian semalam tak henti berputar dalam kepalanya. Mata perempuan itu kembali memanas, mengabur, dan tak lama mengalirlah sungai-sungai duka dari kedua pelupuknya.
Di jalan, beberapa orang sudah lalu lalang. Ada yang membawa barang dagangan, mengayuh sepeda, mengendarai becak, dan memikul bakul.
Kondisi Ruminah yang mengenaskan membuat orang-orang sontak menghampirinya dan menawarkan bantuan. Mereka bertanya apa yang terjadi. Namun, Ruminah memilih mengunci mulutnya. Ia tidak sanggup jika harus menceritakan semua kejadian itu sekarang. Badannya sudah sangat lelah dan lemas.
Sebuah becak berhenti di depannya dan menawari bantuan untuk mengantar pulang. Ruminah tidak ingin membuat orang tuanya khawatir ketika melihat keadaannya, sehingga ia memutuskan ke rumah Sudarmi.
Sesampainya di sana, Ruminah disambut dengan tangisan Sudarmi. Sorot mata Ruminah tak terbaca. Ia seperti orang linglung dan hanya bisa menatap orang-orang di sekelilingnya dengan tatapan kosong. Bibirnya pucat dan pecah-pecah.
Melihat kondisi itu, Sudarmi tampak tak kuasa untuk bertanya. Perempuan itu hanya bisa menangis seraya memapah Ruminah ke rumahnya. Keluarganya juga dengan sigap menyediakan tempat yang nyaman untuk Ruminah di salah satu kamar. Mereka membiarkan Ruminah bersama dengan Sudarmi berdua saja di dalam sana.
Genggaman tangan Sudarmi tak pernah lepas dari jemari Ruminah. Kehangatan itu membawa secuil ketenangan dalam hati Ruminah. Setidaknya, ia tidak sendirian. Karena yang ia butuhkan sekarang hanyalah dukungan dan pengertian. Bukan rentetan pertanyaan yang hanya akan memberi makan rasa penasaran orang-orang. Ruminah bisa merasakan ketulusan dan kepedulian itu dari Sudarmi. Ia akhirnya memutuskan untuk membuka gembok yang sejak tadi mengunci dirinya dalam sebuah ruangan kosong, gelap, dan pengap dalam benaknya.
Isakan Sudarmi terdengar begitu memilukan. Jika Sudarmi saja sampai tidak bisa berkata apa-apa, bagaimana dengan ibu kandungnya? Bagaimana dengan ayahnya? Hati orang tua mana yang tidak hancur saat melihat anaknya dalam keadaan seperti itu.