Hasil visum menunjukkan bahwa ada kerusakan di organ vital Ruminah. Dokter memintanya untuk beristirahat di rumah sakit untuk mendapat perawatan yang baik. Sudarmi yang sejak tadi menunggu di luar, akhirnya diperbolehkan masuk ruangan setelah Ruminah dimintai keterangan oleh pihak kepolisian. Di dalam ruang perawatan, Ruminah didampingi oleh Cipto dan seorang dokter perempuan yang menanganinya.
Ruangan itu memiliki tiga buah ranjang besi, dengan lemari kayu kecil yang masing-masing berada di sampingnya. Setiap tempat tidur dipisahkan oleh tirai pembatas. Ruminah sengaja ditempatkan di ruangan yang belum dihuni oleh pasien, demi menjaga kerahasiaan berbagai keterangan yang disampaikannya pada polisi. Tempat tidur Ruminah diapit oleh dua ranjang kosong.
Saat melihat keadaan Ruminah yang begitu pucat, mata Sudarmi kian mendanau. Ruminah lantas menggenggam erat tangan perempuan itu dan mengucapkan terima kasih karena telah menolongnya.
“Bu, tolong jangan beri tahu orang tua saya, nggih. Saya ndak bisa membayangkan bagaimana perasaan mereka setelah mendengar kabar ini.” Gelombang kekhawatiran jelas terlukis di bola mata Ruminah. Mata bulatnya tampak sayu. Tak ada secercah pun cahaya yang terpancar dari sana. Yang tersisa hanya lubang kelam tak berdasar.
“Wis, kamu tenang saja, Rum. Ndak usah mikir orang lain dulu. Sing penting kamu sembuh.” Ada gurat kecemasan yang tampak dari air muka Sudarmi, seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
Sudarmi lantas meminta Ruminah untuk beristirahat. Ia menyelimuti gadis itu dan mengusap kepalanya. Dalam hati, Ruminah bertekad kuat untuk menangkap mereka semua. Ia harus mencegah bertambahnya jumlah korban. Ingatan Ruminah kembali terlempar ke kejadian malam itu.
Setelah meletakkan Ruminah di sebuah gudang kosong dan mengikatnya hingga tidak bisa bergerak sama sekali, ketiganya mengobrol seraya mengonsumsi minuman keras. Samar, Ruminah bisa menangkap kata-kata mereka yang merendahkan kaum perempuan.
“Cewek di sini cantik-cantik juga ternyata. Enak lagi. Dadanya montok-montok.”
“Tapi, sayangnya pada miskin. Kayak yang ini nih. Lihat tuh telapak kakinya pecah-pecah.”
“Kalau dia punya saudara, entah kakaknya atau adiknya gitu, kayaknya perlu kita cobain juga. Mungkin mereka lebih enak. Coba lo cari info deh tentang keluarganya dia. Kan lumayan, kita nggak perlu jauh-jauh cari mangsa.”
Perbincangan itu mengerucut pada pembahasan seorang guru perempuan sebuah sekolah swasta, yang tiga bulan lalu turut menjadi korban kebiadaban mereka.
Ketiga orang itu menganggap perempuan adalah pelayan yang harus memberikan kepuasan. Perempuan hanya dianggap sebagai aset untuk menuntaskan birahi mereka. Satu hal yang memantik kemarahan Ruminah adalah ketika mereka mengatakan bahwa perempuan di Kertayodya terlalu polos dan mudah dibohongi. Kata-kata seperti gampangan, lemah, tidak berdaya, tidak bisa melawan, tidak bisa berbuat apa-apa, menjadi bahan ocehan mereka selanjutnya. Mereka merendahkan perempuan, seolah-olah lupa bahwa orang yang melahirkan mereka juga perempuan. Ketiganya berniat memanfaatkan waktu liburan untuk mencari mangsa lainnya.