Keesokan harinya, orang tua Ruminah akhirnya mengetahui keadaan sang putri. Mustaman dan Sulastri datang membesuk dengan uraian air mata yang mati-matian ditahan agar tidak menjadi gelontoran tangis. Walaupun terlihat berusaha menguatkan diri, sembap di kedua mata mereka tampak membengkak dan nyaris menutupi pandangan.
Dengan langkah lunglai dan penuh kehati-hatian, keduanya mendatangi Ruminah yang tengah terbaring di ranjang. Luka yang menggores dada Ruminah masih basah dan hari ini menjadi kian bernanah. Telaga di bola matanya telah mengering, membuat ratapan Ruminah hanya bisa bergaung dalam sunyi.
Ruminah tampak seperti mayat hidup. Tatapannya kosong, bibirnya pucat. Seakan-akan nyawa Ruminah telah melayang ke awang-awang. Pemandangan memilukan itu membuat bendungan air mata Mustaman dan Sulastri kembali jebol.
Dengan terisak, Sulastri menyapa putrinya. “Nduk, iki Ibu karo Bapak.” Telapak tangan Ruminah yang dingin sedikit menghangat usai menggenggam tangan ibunya.
Pandangan Ruminah beralih dari langit-langit ruangan ke wajah orang-orang yang amat dibutuhkan dan dirindukannya saat ini. Setelah mendengar kabar hilangnya Sudarmi, Ruminah tak lagi dapat memikirkan apa pun. Melihat raut wajah kedua orang tuanya yang tampak sepuluh tahun lebih tua, dada Ruminah serasa dihantam timah panas. Nyeri tak terperi.
Kata-kata menjelma gumpalan besar yang menyumbat kerongkongannya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi mulutnya bak disumpal sebongkah batu. Terbata, Ruminah memanggil kedua orang tuanya. Sekali, dua kali, tiga kali. Lantas ia hanya bisa menggigit bibir, menahan pedih yang kembali menghunjam dadanya.
“Ora usah dipaksa, Nduk. Ibu karo Bapak wis seneng masih bisa ketemu kamu,” ucap Sulastri sembari mengusap rambut panjang Ruminah.
“Maaf, kami baru datang sekarang, Nduk. Bapak sama Ibu sejak kemarin terlalu sibuk nyari kamu. Berangkat dari magrib pas kamu hilang dan baru pulang tadi subuh.” Suara Mustaman bergetar. Perlu beberapa detik untuknya melanjutkan, “Kami baru dapat kabar tadi pagi waktu diberi tahu Pak RT. Berita kamu masuk TV. Kami ndak kepikiran buat baca koran. Karena berita seperti ini ndak pernah Bapak sangka bisa terjadi ke kamu. Bapak sama Ibu pikir kamu kecelakaan atau hal lainnya. Kami cari kamu ke mana-mana. Tapi, tetap ndak ketemu. Ternyata … Ya Allah, Gusti.” Tak bisa lagi menahan kesedihan, air mata Mustaman pun meluber. Ia pergi keluar ruangan untuk menenangkan diri.
Sulastri dan Ruminah hanya bertatapan dalam diam. Sesekali air mata mereka kembali jatuh membasahi pipi. Setelah bisa menguasai diri, akhirnya Ruminah membuka percakapan. Suaranya parau.
“Bapak sama Ibu harusnya di rumah saja, ndak usah ke sini. Nanti kalau kecapekan gimana? Ibu kan juga harus minum obat. Rum ndak pantas menemui Bapak sama Ibu dalam keadaan seperti ini. Rum malu.” Butuh beberapa jenak untuk Ruminah bisa mengendalikan dirinya.
“Rum merasa sangat bersalah karena sudah membuat malu keluarga. Rum ndak bisa jadi contoh yang baik buat adik-adik. Harusnya Rum bisa jaga diri. Harusnya ….” Belum selesai Ruminah mencurahkan isi hatinya, Sulastri cepat-cepat memotong.
“Nduk, kalau kamu bilang seperti itu, Ibu jadi tambah merasa gagal jadi orang. Ibu jauh lebih merasa bersalah karena anak perempuan Ibu satu-satunya sampai harus mengalami hal ini. Ibu sama Bapak ndak bisa jaga kamu dengan baik. Ibu ….” Bibir Sulastri gemetar, bahunya berguncang, matanya berkaca-kaca. Bulir air kembali menetes membasahi pipinya.
Dada Ruminah kembali sesak. Tumpukan beban pikiran yang berjejalan di kepalanya, tak jua entas dari dalam sana. “Ibu sama Bapak adalah orang tua terbaik yang Rum punya.” Mendengar hal itu, Sulastri tak henti menciumi punggung tangan Ruminah. Keduanya saling berpelukan, memanggil kembali rasa tenang yang kemudian merasuk ke dalam batin masing-masing.
Sulastri membawa makanan kesukaan putrinya, sambal goreng krecek dan pisang goreng.
“Ayo, dimakan dulu, Nduk. Kamu harus minum obat biar cepat sembuh,” bujuk Sulastri. “Ini juga dibawakan banyak makanan sama Pak RT dan para tetangga. Mereka semua ikut prihatin sama keadaaan kamu. Banyak yang sayang sama kamu, Nduk. Jadi, kamu ndak usah khawatir. Ndak ada satu pun dari mereka yang menyalahkan kamu. Justru mereka pengin kamu cepet pulang ke kampung. Menjalani hari-hari kayak dulu lagi,” lanjutnya.
Ruminah tidak menyangka bahwa ia mendapat dukungan yang demikian besar. Ia pikir keluarganya akan diusir dari desa. Namun, rupanya dugaan itu tak pernah menjadi nyata. Para tetangga justru memberikan berbagai macam penganan kesukaannya.
Kendati demikian, keadaan Ruminah saat ini membuatnya tidak berselera. Perutnya malah terasa mual saat melihat makanan-makanan itu. Tiba-tiba, ia merasakan ada sesuatu yang hangat merembes dari pangkal pahanya. Ia pun gegas memeriksa bagian bawah tubuhnya di balik selimut.
Darah.
“Bu! Ini kenapa darahnya banyak sekali!” seru Ruminah dengan panik.
“Tenang, Nduk. Sini ibu bersihkan. Habis ini kamu makan terus minum obat, ya. Biar perdarahannya cepat berhenti.” Sulastri mencoba menenangkan putrinya.
Ruminah juga merasakan perih di organ vitalnya. Ia hanya bisa meringis sambil menahan nyeri saat Sulastri membantu membersihkan luka-luka itu. Kebencian dan dendam dalam hati Ruminah membuncah berkali-kali lipat.
Setelah selesai, Sulastri menyuapi putrinya dengan nasi putih, walaupun hanya beberapa sendok yang bisa ditelan. Ketika Ruminah meneguk obatnya, mendadak terdengar suara ribut di luar.
“Mau apa sampean ke sini? Sudah, pergi!” hardik Mustaman. Volume suara yang tinggi membuat Ruminah dan Sulastri langsung mengenali siapa orang yang berbicara.
Sayup-sayup, Ruminah dapat mendengar jawaban dari lawan bicara Mustaman. “Saya hanya ingin bertemu Rum sebentar, Pak. Setelah itu saya pulang.” Jantung Ruminah terasa berhenti selama beberapa detik. Orang yang paling tidak ingin ditemuinya sekarang, rupanya sudah menunggu di luar.
Ruminah memutar otaknya, mencari cara agar Gunawan tidak bisa menemuinya. Ia tidak ingin laki-laki yang dicintainya itu melihat keadaannya yang carut-marut. Beberapa kali Gunawan tak ragu untuk memanggilnya dari depan pintu yang tertutup.
“Jangan mentang-mentang sampean anak pengusaha kaya, jadi bisa seenaknya datang ke sini!” Mustaman sama sekali tak gentar dan tetap berusaha menghalangi Gunawan.
Tak ingin melibatkan Gunawan, Ruminah pun meminta Sulastri untuk berbicara pada pria itu. Dari tempat tidurnya, sekejap ia dapat melihat tatapan Gunawan melalui celah pintu.
Gelombang rasa rindu bergulung-gulung dalam dadanya. Muncul dorongan untuk bisa mendekap dan mencurahkan seluruh isi hatinya pada Gunawan. Namun, di satu sisi, ia tidak mau membahayakan pria itu. Sudarmi telah menghilang bak ditelan bumi. Entah bagaimana nasibnya saat ini. Ruminah tidak ingin Gunawan menanggung risiko yang sama karena berada di pihaknya.