Segara Lara

irishanna
Chapter #10

Fragmen #9

Kepahitan hidup kembali memaksa Ruminah untuk berdamai dengan ujian yang tak kunjung usai. Kenyataan lagi-lagi menikamnya dengan kejam. Kehilangan demi kehilangan dihidangkan bersama dengan semangkuk air mata yang harus ditelannya utuh-utuh.

Masa remaja Ruminah dihabiskan dengan kehilangan kebebasan untuk menentukan pilihan. Seakan-akan takdir telah mengutuknya menjadi makhluk yang disetir oleh getir. Dimulai dengan tak bisa memilih untuk melanjutkan pendidikan. Kegemarannya bergumul dengan buku-buku dan pengetahuan, terpaksa harus terhambat oleh biaya. Beruntung ia adalah gadis yang gigih dan tidak mau menyerah dengan keadaan. Jika tidak, mungkin sekarang ia sudah tak punya harapan untuk melanjutkan hidup.

Ruminah bahkan tidak bisa memilih untuk menua bersama dengan Gunawan. Kendati lampu hijau telah menyala, tetapi kendaraan yang mereka tumpangi macet di tengah jalan. Segala yang melekat pada pria itu adalah kemustahilan paling muskil.

Dan sekarang, ia harus menjalani serangkaian pemeriksaan dari kepolisian, kendati tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Sebuah borgol membelenggu kedua pergelangan tangannya. Dua orang polisi menggiringnya menuju sel khusus yang sempit dan pengap. Di dalamnya, ia hanya dapat melihat sebuah pintu dengan akses jendela kecil di bagian bawahnya. Sebuah jamban yang pesingnya menusuk hidung, teronggok di bagian ujung.

Lagi-lagi, Ruminah tidak punya pilihan atas hidupnya. Tuduhan atas penyebaran berita bohong seolah-olah menjadi jalan pintas untuk menghentikan pengusutan para pelaku hingga tuntas. Rasanya Ruminah sudah muak dengan semua perlakuan yang diterimanya. Tak ubahnya seekor domba yang dikurbankan demi kemaslahatan banyak orang, dirinya juga dikorbankan untuk menjamin keselamatan orang-orang yang berada di singgasana. Entah siapa yang melaporkan dirinya, ia pun tidak peduli. Yang pasti, Ruminah bertekad untuk melawan mereka bagaimana pun caranya.

Tekanan demi tekanan yang datang bertubi membuatnya tidak bernafsu makan. Hormon dalam tubuhnya sedang kacau balau. Entah sudah berapa kali kelenjar air matanya terus mengeluarkan bulir bening. Ia juga tidak diberi alasan kenapa ia menjadi satu-satunya tahanan yang ditempatkan di sel yang lebih mirip sarang tikus itu. Bahkan beberapa ekor tikus keluar masuk lewat saluran pembuangan.

Para tahanan lain dikurung di balik jeruji besi yang setidaknya terasa lengang. Apakah menegakkan keadilan memang sesulit menegakkan benang basah? Apakah ia harus berurusan dengan hukum hanya karena ia tidak punya kuasa untuk menentangnya? Bahkan, saat bertanya kenapa ia harus mendekam di penjara, mereka hanya bisa menjawab, “Sudah, kamu diam saja.”

Semudah itu pendapatnya dipatahkan. Suaranya dibungkam. Ruminah hanya berusaha membela dirinya.

Sekitar pukul tiga sore tadi, ia harus menjalani proses interogasi yang memakan waktu selama empat jam. Tanpa didampingi penasihat hukum, proses pemeriksaan itu hanya berisi ancaman, bentakan, makian, dan gebrakan meja berulang.

“Kenapa kamu berbohong?”

“Siapa yang menyuruhmu melakukan ini?”

“Jangan melawan!”

“Cepat jawab! Jangan diam saja.”

“Apa susahnya ngomong kalau kamu selama ini bohong.”

“Kamu sebenarnya tidak pernah diperkosa, tho? Cuma pengin terkenal saja? Pengin cari perhatian. Apa susahnya bilang gitu!”

Meski sudah berselang dua jam, masih lekat di benak Ruminah bagaimana tatapan mengintimidasi dua orang polisi yang memeriksanya. Mereka memberondong dengan puluhan pertanyaan yang hanya berputar di situ-situ saja. Ruminah tidak akan gentar dengan berbagai tudingan yang dilayangkan padanya. Selama masih berpegang teguh pada kebenaran, ia tidak akan memberi makan ego orang-orang yang telah menjebloskannya ke penjara.

Tak lama setelah dimasukkan ke dalam sel, seorang petugas memberinya makan malam berupa nasi sekitar satu centong, sedikit sayur lodeh, dan satu tempe goreng yang sangat tipis. Sipir itu mengisyaratkan Ruminah untuk segera tidur setelah menandaskan isi piringnya. Namun, sampai makanan itu dingin, Ruminah tidak menyentuhnya sama sekali. Selain karena tidak berselera, perut bagian bawahnya terasa seperti ditusuk-tusuk. Ia bersandar ke tembok dan sedikit membungkuk untuk menekan perutnya.

Kendati tubuhnya sudah teramat lelah, isi kepala Ruminah tidak bisa beristirahat barang sebentar. Percabangan antara praduga dan tanda tanya yang membebat tulang tengkoraknya, membuat otak Ruminah berletupan.

Tragedi malam itu menjelma sulur-sulur beracun yang mengikis sisa-sisa kesadaran Ruminah. Mau tidak mau, ia harus menyelamatkan dirinya sendiri, sebelum racun itu membabat habis kewarasannya.

***

Malam telah berganti pagi. Ruminah dibangunkan dan langsung digiring menuju sebuah ruangan. Lantai sel yang dingin membuat tubuh ringkihnya menggigil. Ditambah, ia hanya tidur beralaskan tikar tanpa menggunakan bantal. Fisiknya terasa remuk. Kalau saja tidak ada polisi yang memegangi lengannya, mungkin Ruminah sudah ambruk.

Sekuat tenaga Ruminah meminta mereka untuk melepaskannya, tetapi tidak dihiraukan. Justru cengkeraman dua petugas itu semakin kuat. Dada Ruminah serasa akan meledak. Duri-duri tajam kembali menusuki pangkal pahanya. Keringat dingin bersembulan di dahi, leher, dan punggung. Rasa jijik, malu, marah, senantiasa bergulung-gulung dalam jiwanya. Namun, tidak ada yang bisa dilakukan Ruminah.

Sesampainya di sebuah ruangan yang tampak terang, mata Ruminah harus beradaptasi. Semalaman ia tidur di tempat yang minim pencahayaan. Sejenak, pandangan Ruminah menyapu seluruh bagian ruangan itu satu per satu.

Sudah ada dua orang pria yang sedang menunggunya. Satu pria yang duduk di belakang sebuah meja besar penuh berkas-berkas, tampak mengenakan seragam polisi lengkap dan tanda kepangkatan polisi di bagian pundaknya. Ruminah mengira pria itu adalah seorang petinggi kepolisian. Sedangkan di seberangnya, seorang laki-laki paruh baya berambut klimis, berbadan tinggi tegap, dan memakai jas rapi.

Lihat selengkapnya