Segara Lara

irishanna
Chapter #11

Fragmen #10

Gelombang protes datang dari seluruh penjuru negeri. Mereka ikut resah dengan pemberitaan tentang penculikan dan pemerkosaan yang terjadi di Kertayodya. Meskipun kasus itu tidak menjalar ke provinsi lain, tetap saja masyarakat dibuat gemas oleh oknum-oknum yang mencoba menutupi kasus ini dengan berbagai alasan.

Berita televisi yang ditonton Kresna saat ini pun tak jauh dari pembahasan kasus Ruminah. Koran-koran nasional pun selalu menempatkan kasus Ruminah dalam tajuk utama berita mereka. Kendati kabar bahwa Ruminah telah menyebarkan berita bohong sudah tercetak dengan jelas, sebagian besar warga masih tidak percaya dengan informasi itu. Bahkan, beberapa koran mendesak Kresna dan para pelaku lainnya untuk mengaku dan menyerahkan diri ke polisi.

“Kalian semua keluarlah dari kandang. Jangan jadi pengecut dan hanya berani bersembunyi di balik ketiak orang tua!”

Komentar itu dilontarkan oleh salah satu perwakilan aktivis perempuan. Jantung Kresna bak dihantam godam sewaktu membaca pernyataan itu koran Warta Rakyat. Mereka benar, aku memang pengecut. Kalimat itu diputar berulang kali dalam kepalanya. Menciptakan doktrin yang lamat-lamat menghancurkan dirinya dari dalam.

Jiwanya dipasung oleh rasa bersalah dan penyesalan yang tak henti menggerogoti kewarasannya. Tidak satu pun tidurnya jatuh dalam lelap. Dalam 24 jam, mata Kresna hanya terpejam paling lama dua jam. Itu pun tidak sepenuhnya nyenyak. Setiap detik hatinya gelisah. Kendati kepolisian belum pernah mengeluarkan pernyataan telah menemukan bukti valid yang menunjukkan bahwa dirinya bersalah, justru hal itulah yang mengusik ketenangannya sejak insiden itu terjadi. Tidak ada yang bisa mengerti perasaannya. Bahkan, ibunya pun tidak bisa memahami apa yang Kresna rasakan.

Semenjak pemberitaan yang menyeret namanya mencuat, Kresna memilih untuk mengurung diri di kamar. Ia bahkan tidak pernah berani becermin. Pernah satu kali ia mencoba melihat pantulan wajahnya, tetapi yang ia lihat bukanlah dirinya, melainkan sesosok monster menyeramkan dengan wajah hancur dan mengeluarkan bau menyengat. Ia merasa malu, kotor, hina, bejat, biadab, dan segala sifat buruk yang bersenyawa membentuk citranya pada diri sendiri.

Dalam satu hari, Kresna bisa mandi hingga sepuluh kali untuk menghilangkan aroma busuk yang menguar dari tubuhnya. Ia ingin menyikat habis dosa-dosa yang termanifestasi menjadi tumpukan daki yang mengerak di permukaan kulitnya.

Sedari matahari menyingsing di ufuk timur, Soedirja belum juga berangkat bekerja. Dari dalam kamar, Kresna masih bisa mendengar umpatan ayahnya yang semakin akrab di telinga. Setiap kali kemarahan itu memuncak, pasti ada saja barang yang pecah. Meskipun Kresna sudah menyumpal pendengarannya rapat-rapat, suara-suara itu justru kian mengeras. Isi kepalanya seakan-akan sedang berlomba untuk didengar. Denging panjang menjadi peneman paling setia, yang kerap kali datang saat Kresna tak bisa lagi menguasai tubuhnya.

Beberapa kali Kresna ambruk dan harus mendatangkan dokter pribadi keluarga mereka. Namun, Soedirja tak lantas mengasihani anak semata wayangnya. Ia justru menganggap Kresna laki-laki lemah dan cemen. Tak jarang pula Soedirja akan memukuli putranya tanpa ampun karena sudah mencemarkan nama baik Madoeraja. Sebab, mencuatnya kasus itu membuat omzet penjualan produk gula mereka turun drastis hingga hampir setengahnya.

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Kresna. Rukmini masuk ke kamar putranya dengan membawa nampan berisi menu makan siang, lengkap dengan buah-buahan dan vitamin. Kondisi Rukmini tidak jauh berbeda dengan Kresna. Wajahnya tampak kuyu dan pucat. Tulang selangkanya terlihat lebih menonjol, membuat baju yang dikenakannya menjadi kebesaran. Tubuhnya yang ramping kian menyusut.

Mendapati keadaan ibunya yang demikian rapuh, membuat hati Kresna seperti teriris. Ia tidak tega jika harus merepotkan ibunya lebih banyak lagi. Untuk mengikis rasa khawatir yang membelenggu mereka, Kresna pun berusaha makan dengan lahap, meski perutnya merasa mual. Bahkan untuk menghabiskan makanan saja, ia harus berjuang mati-matian. Padahal porsinya sudah dikurangi setengah dari porsi normalnya.

“Makan dulu, Sayang.” Senyum getir yang membingkai wajah Rukmini menjadi pemandangan sehari-hari. Kresna tahu ibunya selalu ingin kelihatan kuat di hadapannya. Ia pun juga mengisyaratkan hal yang sama.

“Nanti malam, Romo mau ada tamu penting. Kamu diminta ikut diskusi dengan mereka. Mungkin sekitar jam 11.” Alis Kresna nyaris bertaut, heran dengan pernyataan Rukmini.

“Memangnya kenapa kok harus larut sekali?” selidik Kresna. Suaranya terdengar lemah. Namun, Rukmini masih bisa menangkap maksudnya.

Lihat selengkapnya