Semenjak Ruminah ditangkap di rumah sakit, Mustaman dan Sulastri tidak diperkenankan menjenguknya di kantor polisi. Mereka harus membayar sejumlah uang, yang katanya untuk administrasi, kalau ingin menemui Ruminah. Tiga ratus ribu rupiah untuk satu pengunjung.
“Pak, kami ndak punya uang sebanyak itu. Tolong, Pak. Sebentar aja. Beberapa menit cukup. Pas Rum ditangkap, saya lagi ndak ada di sana. Tolong, Pak,” ratap Mustaman di depan petugas penjaga. Di sampingnya, Sulastri hanya bisa menangis.
“Tidak bisa, Pak. Ini sudah prosedur yang harus ditaati. Kalau tidak bisa bayar, mendingan Bapak Ibu pulang.” Petugas itu memaksa Mustaman dan Sulastri pergi seperti sedang mengusir kucing kampung penyakitan yang masuk ke rumah.
Ketidakberdayaan itu membuat Mustaman memukuli dadanya sendiri. Membayangkan putrinya menderita di dalam sana sendirian, membangunkan rasa sesak dalam dadanya. Bagaimana bisa orang-orang itu bisa disebut pengayom masyarakat, jika untuk menemui anak kandungnya saja, ia harus mengeluarkan ratusan ribu. Di mana hati nurani mereka?
“Pak, piye tho iki. Kenapa semuanya jadi kayak gini? Rum itu lapor polisi biar dilindungi, malah dia yang sekarang dipenjara. Ya Allah Gusti,” keluh Sulastri saat mereka sudah berada di luar kantor dan berjalan menuju jalan besar untuk menaiki bus. Isaknya tak kunjung reda.
“Yo piye meneh, Bu. Kita ini wong cilik. Ndak punya kuasa apa-apa. Cuma bisa pasrah dan berdoa sama Allah. Semoga Rum bisa segera bebas.” Mustaman mencoba menenangkan.
Napas Sulastri tiba-tiba menjadi pendek-pendek. Sesak katanya. Mustaman sigap mengangsurkan obat pada istrinya.
“Sing tenang, Bu. Nanti pasti dapat jalan keluarnya.” Dengan lembut, Mustaman mengusap punggung Sulastri.
“Pak, gimana kalau kita minta bantuan Gunawan buat jenguk Rum? Kan dia anak pengusaha. Pasti duitnya banyak.”
“Jangan ngerepoti orang. Apalagi orang asing. Wis, Bu. Sekarang kita fokus saja nyari uang buat nebus biayanya. Nanti aku coba cari kerja sampingan yang lebih banyak.” Keduanya pun lantas berjalan sembari bergandengan dengan langkah yang lunglai.
***
Sepanjang mendekam di balik terungku, Ruminah hanya bisa membedakan siang dan malam dari cahaya lampu luar yang menyisip ke jendela kecil di bagian bawah pintu. Jika sudah malam, petugas akan menyalakan bohlam-bohlam kekuningan itu. Baru tiga malam ia lewati, tetapi waktu terasa berjingkat dengan amat lambat.
Tersebab di sana tidak ada ventilasi untuk sirkulasi udara, paru-paru Ruminah bekerja keras untuk menyaring oksigen yang teramat tipis. Semalaman badannya menggigil. Sekujur tubuh terasa nyeri. Bahkan untuk bergerak saja rasanya seperti digilas roda bergerigi. Permukaan kulitnya serupa bara api, lantaran panas yang dihasilkan dari dalam raganya terlampau tinggi. Kakinya terasa lemas. Namun, polisi tidak mengindahkan dan hanya menyuruhnya beristirahat.
Tidur beralaskan tikar, di ruangan yang pengap dan lembap, tak pelak membuat sakit yang dirasakan Ruminah menjadi berkali-kali lipat. Ia hanya bisa menguatkan diri untuk terus bertahan dan tidak menyerah.
Pagi ini, seorang polisi kembali memanggilnya untuk menjalani pemeriksaan. Tertatih, Ruminah berjalan dengan susah payah. Saat melewati sel tahanan lainnya, ia selalu menerka-nerka, kenapa hanya dirinya yang dimasukkan ke dalam sel khusus. Sedangkan tahanan lain menempati “sel normal” pada umumnya.