Kegigihan dan sikap kritis Cipto Mulyadi yang tidak pernah menyerah untuk mengusut tuntas kasus Ruminah, kini justru berujung maut. Tepat tiga hari sebelum sidang pertama Ruminah, Cipto ditangkap dan ditahan oleh kepolisian di rumahnya, saat orang-orang sudah tidur lelap. Tidak ada yang mengetahui proses penangkapan Cipto kecuali keluarganya sendiri. Istrinya yang sedang hamil tua pun diminta untuk diam jika ingin Cipto selamat.
Sudah sejak seminggu lalu Ruminah menjadi tahanan Kejaksaan karena kasusnya akan segera disidangkan, sehingga ia tak lagi menghuni sel di kepolisian. Wartawan “Warta Rakyat” itu digiring ke kantor polisi dan langsung dimasukkan ke sel khusus yang tidak layak huni. Alasan penangkapan itu karena beritanya dianggap terlalu memojokkan pihak kepolisian dan dianggap mengandung fitnah. Cipto juga dinilai menjadi kaki tangan Partai Kapak Merah karena selama ini selalu membela Ruminah yang sudah jelas bersalah.
Sejak kasus Ruminah mencuat, tulisan-tulisan Cipto kerap menyudutkan polisi. Keberaniannya untuk menyebut nama-nama pejabat yang ikut terseret dalam kasus ini berhasil mengundang kemarahan warga. Koran-koran lain tidak berani mengangkat isu itu, tersebab masih ingin selamat.
Berita terbarunya yang berjudul “Sandiwara Kasus Gadis R: Polisi Memutarbalikkan Fakta”, menimbulkan gonjang-ganjing di tubuh kepolisian. Cipto berhasil menghimpun bukti-bukti kuat yang menunjukkan bahwa malam itu Ruminah memang diculik dan diperkosa berdasarkan keterangan para warga sekitar yang melihat mobil itu melintas. Ia juga berhasil mewawancarai penjual miras yang menjajakan dagangannya pada para pelaku. Pernyataan dari penjual bakso yang dengan tegas membantah bahwa ia telah memperkosa Ruminah. Hal itu didukung oleh keterangan dari teman-temannya yang biasa mangkal di tempat yang sama. Mereka bersaksi bahwa si penjual bakso ini tidak punya hubungan apa pun dengan Ruminah, bahkan ia baru sebulan lalu kehilangan istrinya yang sudah sakit kanker bertahun-tahun.
Di berita lain yang berjudul “Misteri di Balik Kasus Gadis R yang Semrawut”, seorang informan yang tidak ingin menyebutkan namanya, menghubungi kantor Warta Rakyat. Ia bersumpah memberikan keterangan yang sebenar-benarnya. Pada suatu tengah malam, Soedirja melakukan pertemuan tertutup dengan sesama penggede untuk mengatur langkah yang akan diambil selanjutnya. Hasil diskusi itu membuat Ruminah dicap sebagai anggota Serwani. Namun, sebelum Cipto menanyakan siapa saja pelakunya, telepon sudah ditutup.
Dalam berita ini ada pula keterangan dari seorang aktivis perempuan berinisial “N” dari Himpunan Perempuan (Himpar) Kertayodya, yang dengan berani menyatakan bahwa tidak mungkin Ruminah bersetubuh atas dasar suka sama suka. “N” bersikeras agar warga jangan sampai mau dibodohi oleh polisi dan pejabat yang menyokong institusi itu. Secara visum sudah jelas ada kerusakan. Mustahil Ruminah dan pelaku sama-sama mau, karena luka di alat vitalnya terbilang sangat parah. “N” mengonfrontasi kepolisian dan terus mendesak Kresna Dirjaya dan para pelaku lainnya untuk menyerahkan diri.
Penangkapan Cipto tak pelak mengundang kemarahan para sejawatnya. Hal ini dikhawatirkan akan mematikan demokrasi dan menjadi ancaman serius bagi kebebasan pers. Seharusnya, jika memang terjadi pelanggaran, kasus ini masuk dalam delik pers. Wartawan yang bersangkutan bisa diadukan karena telah menyerang, memfitnah, dan menghina pihak tertentu. Namun, yang berwenang memanggil wartawan adalah Kejaksaan Negeri untuk di daerah dan Kejaksaan Agung untuk di pusat.
Nasib Cipto tak jauh berbeda dengan Ruminah. Bahkan, pria itu hanya diberi makan satu hari sekali dengan porsi nasi yang jauh dari cukup. Setelah satu hari ditahan, pintu selnya dibuka. Dua orang petugas menyambutnya dengan memasangkan borgol di kedua pergelangan tangan. Mata Cipto yang terbiasa melihat keremangan, dipaksa beradaptasi dengan cahaya yang tiba-tiba membanjir di sekitarnya.
Cipto masuk ke sebuah ruangan yang benderang, dengan perabot lengkap, bersih, dan wangi. Sangat berbeda dengan sel yang dihuninya. Soedirja dan kepala kepolisian telah menunggunya dengan raut berang. Ketika Cipto baru saja masuk, Soedirja sontak naik pitam.
“Wong kurang ajar!” Pukulan telak mendarat di pipi Cipto. Ujung bibirnya berdarah. Kedua tangan Soedirja berkacak pinggang dengan penuh arogan. “Kowe wani karo aku, hah? Tulisan-tulisanmu kuwi sampah kabeh!”