Pagi ini tersiar kabar kalau Cipto diasingkan karena telah terbukti sebagai anggota Partai Kapak Merah yang dianggap membahayakan kedaulatan negara. Situasi menjadi semakin genting. Pernyataan polisi untuk menangkap siapa saja dan menindak tegas orang yang membela Ruminah rupanya bukan isapan jempol belaka. Media-media besar menjadikan berita itu sebagai tajuk utama. Para kuli tinta tampak lebih berhati-hati dalam menulis kejadian itu. Mungkin mereka tidak ingin mengambil risiko kehilangan pekerjaan atau harus berakhir seperti Cipto.
Gunawan masih memercayai bahwa hal itu hanyalah karangan seseorang yang berada di balik layar seluruh lakon sandiwara itu. Bersama dengan “N”, ia ingin menguak kebenaran yang masih berada di balik tirai panggung pertunjukan. Keduanya pun mengunjungi Ruminah ke penjara untuk menggali keterangan yang belum pernah diungkap ke publik. Kali ini Gunawan harus meneguhkan hatinya demi mengulik fakta yang selama ini dibungkam oleh oknum-oknum tertentu.
Butuh dana yang jauh lebih banyak untuk bisa menyelinap menemui tahanan kejaksaan. Butuh berlapis-lapis mulut yang harus disumpal guna melancarkan rencana. Tabungannya sudah terkuras hampir setengahnya hanya demi membela Ruminah. Namun, ia tidak menyesal. Ia rela melakukan apa pun agar Ruminah bisa bebas dari semua tuduhan.
Semakin banyak organisasi perempuan yang mau bersuara dan mendukung Ruminah. Kali ini mereka ingin mengulik lebih dalam siapa dalang di balik semua sandiwara ini. Keduanya menunggu Ruminah di sebuah ruangan tertutup sesuai pesanan Gunawan. Sekitar sepuluh menit menunggu, Ruminah akhirnya datang. Beban hatinya tampak belum berkurang.
“Siang, Rum,” sapa Gunawan seraya melengkungkan bibir dengan tulus. Pertemuan dengan Ruminah selalu menjadi hal yang paling ia nantikan. Ada gejolak yang mendesaknya untuk tak lelah berusaha melindungi gadis itu.
“Siang, Mas Gun.” Tatapan sangsi dilayangkan Ruminah pada perempuan yang berada di samping Gunawan.
Melihat gelagat Ruminah yang terlihat tidak nyaman, Gunawan sigap memperkenalkan Ningsih. Penampilan Ningsih memang berbeda dari perempuan kebanyakan. Ningsih berambut ikal setengkuk yang dipotong rapi, dengan kemeja gombrang kotak-kotak dan celana cutbray.
“Siang, Rum. Saya Ningsih atau lebih dikenal dengan N.” Saat memberikan keterangan di koran-koran, Ningsih hanya menyebutkan inisial namanya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Perempuan berusia seperempat abad itu sudah bersiap bahwa identitasnya cepat atau lambat akan diketahui. Ia juga sudah mempersiapkan kemungkinan terburuk.
Gunawan merasa kagum dengan pergerakan yang dilakukan oleh Himpar selama ini. Cipto memperkenalkan Ningsih pada Gunawan tiga hari setelah penangkapan Ruminah.
Ningsih merupakan ketua Himpar, sebuah organisasi yang bergerak untuk membela hak-hak perempuan, terutama mereka yang kesulitan mendapat keadilan. Empat tahun lalu, Himpar dibentuk oleh Sudarmi bersama beberapa anggota Serwani lain yang berhasil meloloskan diri dari penangkapan para aparat.
Kala peristiwa berdarah itu terjadi, Ningsih baru dua tahun bergabung dengan Serwani. Lima orang temannya yang saat itu sedang mengikuti pelatihan calon kader Serwani, juga turut menjadi korban salah tangkap oleh aparat. Ribuan anggota Serwani menjadi tahanan politik yang sampai sekarang belum tahu bagaimana nasibnya. Bahkan, banyak perempuan yang bukan merupakan anggota juga ikut ditahan.
Semuanya berawal dari Serwani yang membonceng Partai Kapak Merah. Partai itu mendukung Serwani untuk aktif menentang isu-isu pelanggaran hak perempuan, seperti kekerasan seksual dan kawin paksa. Berkat Partai Kapak Merah pula, enam anggota Serwani berhasil menempati kursi di kursi DPR.
Sayangnya, para anggota partai tersebut merasa dikhianati. Janji presiden sebelumnya untuk mengangkat Ketua Serwani menjadi pemimpin negara tidak bisa terwujud. Semenjak itu, Partai Kapak Merah mulai melakukan pemberontakan dan mengancam akan menggulingkan sang presiden baru.
Akibatnya, peran Serwani dalam memperjuangkan kesejahteraan perempuan dan anak-anak terpaksa harus terkubur. Masyarakat termakan oleh narasi pemberitaan dalam koran-koran yang menyatakan bahwa Serwani berisi para perempuan cabul. Mereka dituduh memotong alat kelamin tujuh perwira Tentara Nasional, mencungkil mata para korban, dan membunuh mereka.
Pelabelan bahwa anggota Serwani adalah perempuan jalang atau pelacur, masih melekat hingga sekarang. Karenanya, organisasi itu dilarang dan dimusnahkan. Para anggotanya diperlakukan tidak adil, disiksa, dan diserang secara seksual. Hal itulah yang mendorong Himpar untuk terus memperjuangkan kesetaraan gender. Di tahun ini mereka fokus dalam aspek hukum. Ketimpangan gender berdiri semakin kokoh lantaran hukum dianggap tidak berpihak pada hak-hak perempuan.
Ruminah memandang Ningsih dengan raut curiga. Gunawan pun menjelaskan identitas Ningsih. “Dia yang saya ceritakan tempo hari, Rum. Dia akan membantu membela kamu. Tapi, kami butuh bantuanmu supaya bisa menceritakan apa pun yang kamu tahu dengan sejujur-jujurnya.”
Ruminah tampak gelisah. Melihat hal itu, Ningsih langsung menenangkan. “Kamu tidak perlu buru-buru menjawab semua pertanyaan kami. Kalau kamu tidak mau jawab, tidak apa-apa.”
“Baik, Mbak.”
“Sebelumnya, saya ingin tahu kabar kamu dulu selama di sini,” ujar Ningsih kemudian.
Ruminah menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan keras. Seakan sedang berusaha melepaskan beban yang mengimpit dadanya. Pandangannya tertuju ke lantai. Kedua tangannya mengepal sambil meremas celana tahanan.
Gunawan dan Ningsih memberikan waktu untuk Ruminah merenungkan sesuatu. Entah apa yang ada di kepala Ruminah saat ini, tetapi hal itu seperti sangat mengganggunya. Ruminah mengatupkan kelopak matanya dan sesekali menggeleng kuat-kuat.
Setelah lebih tenang, Ruminah kembali membuka suara. “Sebelumnya terima kasih Mas Gun dan Mbak Ningsih sudah mau mengunjungi saya di sini. Maaf kalau tadi saya terlalu gugup.”