Segara Lara

irishanna
Chapter #16

Fragmen #15

16 Oktober 1970

Persidangan pertama kasus Ruminah ternyata berlangsung tertutup. Para warga yang sudah menunggu di Gedung Pengadilan Negeri merasa kecewa lantaran tidak bisa menyaksikan langsung jalannya persidangan. Mereka penasaran dengan nasib Ruminah. Rupanya warga telah membeludak memenuhi halaman depan pengadilan hingga meluber ke jalan-jalan. Mereka bak kawanan semut yang tengah mengerubungi gula pasir.

Masyarakat yang tidak mendapat tempat berdiri di depan gedung, memilih untuk menunggu di samping dan belakang gedung. Antusiasme warga yang begitu besar tidak diprediksi oleh kejaksaan. Puluhan orang di antara mereka membawa spanduk bertuliskan “Bebaskan Ruminah”. Ada pula yang memberikan dukungan dengan menggunakan toa atau pelantang suara.

Ruminah merasa sangat bersyukur dengan betapa besarnya dukungan yang diberikan oleh masyarakat. Padahal mereka adalah orang-orang asing yang sama sekali tidak mengenal Ruminah.

Sidang baru dimulai satu jam lagi, tetapi makin banyak orang berduyun-duyun mendatangi Gedung Pengadilan Negeri. Ningsih beserta para relawan pendukung Ruminah sudah sigap untuk keliling mengumpulkan tanda tangan. Dalam sekejap, 200 tanda tangan telah ia kantongi. Rencananya petisi itu akan mereka kirimkan langsung ke istana dan Kapolri agar para pemangku kebijakan itu bisa membantu membebaskan Ruminah. Semakin banyak akan semakin baik.

Berbeda dengan keadaan di luar, di dalam persidangan terasa sangat sunyi. Ruminah duduk di samping pembelanya. Sebenarnya ia memiliki tiga orang tim pembela yang bersedia dengan cuma-cuma membantu menyelesaikan kasus Ruminah. Namun, pengadilan kali ini hanya diperbolehkan satu orang pembela yang masuk ke ruang sidang.

Majelis hakim beranggapan bahwa sidang ini harus dilakukan tertutup agar terdakwa dan saksi-saksi bisa memberikan keterangan yang sejujur-jujurnya. Wartawan juga tidak boleh meliput ke dalam ruang sidang. Mereka semua diminta menunggu di luar gedung. Jika sidang dibuka untuk umum, akan sulit mengontrol kondisi sidang yang bisa saja berakhir ricuh.

Ruminah masih teguh dengan pendiriannya untuk membela diri. Namun, kondisi badannya tidak dapat diajak berkompromi. Nyeri di bagian bawah perutnya tak tertahankan. Tubuhnya demam sejak semalam. Perih di pangkal pahanya juga belum membaik. Sejak mendekam di penjara, ia juga kesulitan untuk buang air besar. Belum lagi ada cairan keabu-abuan dan berbau menyengat yang keluar dari vaginanya. Semua itu dipendam Ruminah seorang diri.

“Ada apa, Rum? Kamu sakit? Kamu pucat sekali lho. Dari tadi tak lihat kamu ndak fokus sama pertanyaan Hakim Ketua,” tanya Trimo, pembelanya, dengan raut khawatir.

Ndak apa-apa kok, Pak. Saya cuma gugup dan lagi banyak pikiran.” Keduanya berbisik-bisik karena para saksi yang dihadirkan oleh Penuntut sedang berbicara.

Yo wis kalau gitu. Kalau sakit bilang lho, ya. Ojo meneng wae.––Jangan diam saja.”

Nggih, Pak.”

Usai sidang, Ruminah kembali digiring menuju mobil tahanan untuk dibawa kembali ke penjara. Namun, di dalam mobil tiba-tiba ia muntah hebat hingga badannya terasa sangat lemas. Trimo yang mendampinginya, segera meminta sopir untuk mempercepat laju kendaraan supaya Ruminah bisa mendapat penanganan secepatnya.

Sesampainya di klinik penjara, Ruminah diperiksa oleh dokter. Sang dokter memeriksa denyut nadi Ruminah, menanyakan beberapa hal terkait kapan terakhir kali haid, keluhan apa saja yang Ruminah rasakan selama ini, dan lain-lain. Lalu dokter itu menyarankan untuk periksa ke dokter kandungan.

“Lebih baik Mbak Ruminah konsultasi lebih lanjut ke dokter kandungan. Saya sebagai dokter umum tidak berwenang untuk menegakkan diagnosis. Sepertinya Mbak kena infeksi vagina. Jadi, harus ditangani secepatnya. Sementara saya berikan obat pereda nyeri dulu, ya.”

Bagai ada petir yang menyambar kesadaran Ruminah saat itu juga. Seluruh dunianya runtuh seketika. Tulang-tulang Ruminah seakan tercerabut dari raga. Kakinya terasa mengambang. Seluruh pandangannya berputar-putar dan perlahan semuanya mengabur. Sebuah dengingan panjang adalah hal terakhir yang Ruminah dengar sebelum tubuhnya ambruk ke lantai.

***

Lihat selengkapnya