Segara Lara

irishanna
Chapter #18

Fragmen #17

Selama masa pemulihan di rumah sakit, tidak ada yang diperbolehkan mengunjungi Ruminah selain kedua orang tuanya. Tiga orang polisi telah ditugaskan untuk berjaga selama 24 jam. Namun, kedatangan seorang perempuan asing yang kini berada tepat di depan pintu ruang perawatannya, terasa begitu janggal. Dengan mudah, ia bisa menerobos penjagaan para petugas kepolisian. Mereka langsung menyingkir setelah perempuan itu mengangsurkan sepotong memo dari atasan mereka.

“Selamat siang, Bu Sulastri. Boleh saya masuk?” Setelah kacamata hitam dan masker perempuan itu dibuka, paras ayu nan anggunnya langsung terpancar. Sulit dimungkiri bahwa dalam sekejap Sulastri sempat terbius dengan kecantikan perempuan di hadapannya.

“Dengan siapa, ya?” Sulastri seperti sedang berbicara dengan dirinya sendiri karena suaranya terlalu lirih.

Meski demikian, perempuan itu tampaknya masih bisa mendengar suara Sulastri. “Saya akan jelaskan nanti setelah di dalam, ya, Bu. Tidak enak kalau di sini, banyak orang.”

Setelah melihat kode anggukan yang diberikan oleh salah satu petugas, akhirnya Sulastri mengizinkan orang itu masuk. Ruminah yang sejak tadi memanjangkan leher, merasa penasaran dengan siapa yang datang.

Di dalam ruangan, perempuan itu melepas topinya. Rambutnya digelung rapi dan masih hitam legam. Usianya mungkin sekitar awal tiga puluhan kalau ditaksir dari penampilannya.

“Selamat siang, Rum. Saya Rukmini. Ibunya Kresna.”

Mendengar hal itu, sontak Sulastri naik pitam. Tanpa aba-aba, langsung saja ia menjambak rambut Rukmini dengan kasar. “Dasar ibu biadab. Gimana kamu mendidik anakmu sampai bikin anakku jadi menderita seperti ini, hah? Semuanya gara-gara kamu ndak becus mendidik anak! Ndak becus jadi ibu! Kembalikan kebahagiaan Ruminah! Kembalikan ketenangan keluarga kami! Kembalikan!” Sulastri meraung sejadi-jadinya, seraya memukul badan Rukmini tanpa ampun. Rukmini hanya bisa diam saja dan menerima amukan dari Sulastri.

Dua orang polisi masuk dan melerai keduanya. Sulastri hampir saja diseret keluar, tetapi Rukmini mencegahnya. “Tidak apa-apa, Pak. Biarkan saja.”

“Tapi, Bu ….” Gestur tangan Rukmini yang meminta mereka berhenti pun dituruti. Sulastri dibiarkan meraung di lantai sembari menepuk-nepuk dadanya. Pintu kembali ditutup agar tidak mengundang perhatian orang lain.

Di tempat tidur, Ruminah hanya bisa meratapi nasib. Kejadian malam itu kembali menyesaki kepalanya. Kemalangannya seakan-akan tak akan pernah luntur oleh waktu. Tragedi itu akan terus menempel di sekujur tubuhnya serupa lendir yang menjijikkan dan tidak bisa dihilangkan begitu saja. Semua hal nahas yang terjadi adalah nestapa yang mau tidak mau harus dipikulnya sepanjang sisa hidup.

Rukmini menghampiri Ruminah yang masih duduk di ranjang. Ruminah memalingkan wajah ke arah jendela. Berulang kali ia mengusap air mata supaya terlihat kuat dan tegar. Apalagi di depan Ibu Kresna. Ia tidak sudi jika harus terlihat lemah.

“Jangan sentuh anakku! Pergi kamu dari sini! Pergi!” Sulastri dengan sigap menghalangi Rukmini yang hendak duduk di tepi ranjang Ruminah. Namun, tiba-tiba Rukmini berlutut di hadapan Sulastri.

“Saya datang ke sini ingin meminta maaf yang setulus-tulusnya pada Bu Sulastri dan Ruminah. Tolong jangan memojokkan Kresna lagi. Kresna anak saya satu-satunya. Saya tidak tahan melihatnya menderita,” ujar Rukmini seraya berurai air mata.

“Maaf katamu? Kamu pikir Ruminah ndak menderita gara-gara ulah anakmu? Kalau dengan kata maaf semua masalah bisa selesai, penjara jadi ndak ada gunanya.” Mata Sulastri berkilat oleh amarah.

Tangan Rukmini ditangkupkan di atas kepalanya dengan pandangan diarahkan ke lantai. “Tolong maafkan kami, maafkan keluarga saya. Saya memang tidak pantas disebut ibu. Saya gagal mendidik anak. Saya gagal menjaga Kresna dari pergaulannya. Kalau bisa, saya rela jika harus menanggung semua dosanya. Biar saya saja yang menderita.” Rukmini tersedu. Bahunya terguncang.

Lalu Rukmini melanjutkan, “Kresna sangat terpukul dengan kejadian itu. Dia merasa sangat bersalah. Hampir setiap malam saya mendengar Kresna mengigau, meminta maaf pada Ruminah. Sering kali saya mendengar Kresna berteriak-teriak, mengatakan dirinya bodoh, tolol, lalu dia akan memukul dinding, atau melempar apa saja yang ada di dalam kamarnya. Nafsu makannya juga turun sangat drastis. Badannya kurus sekali sampai tulang-tulangnya terlihat menonjol. Sebagai ibu, rasanya saya ingin mati melihat keadaan Kresna seperti itu. Saya merasa sangat hancur. Mending saya saja yang merasakan semuanya. Jangan Kresna.” Rukmini lantas menggenggam tangan Sulastri. “Bu, tentu Bu Sulastri juga tahu bagaimana rasanya saat anak sedang menderita. Orang tua akan jauh berkali lipat lebih sengsara.”

Rukmini berdiri dan mendekat ke Ruminah, lalu menggenggam tangannya dengan erat. “Tolong, ya, Rum. Tolong maafkan Kresna. Sudahi semuanya. Jangan memojokkannya lagi. Cuma kamu yang bisa bantu kami untuk meredakan para demonstran itu. Tiap hari di depan gerbang rumah kami tidak pernah sepi dari pedemo dan wartawan. Suami saya sampai harus lewat jalan belakang yang memutar cukup jauh kalau harus bekerja. Semakin hari, jumlahnya semakin bertambah. Kami jadi tidak leluasa dan menjadi sangat terganggu ketenangannya.”

Ruminah tetap memalingkan pandangannya ke luar jendela, tidak mau menatap Rukmini.

“Apa yang harus saya lakukan supaya kamu memaafkan Kresna, Rum?” tanya Rukmini.

Dengan tatapan tajam, Ruminah menjawab, “Buat Kresna mengakui perbuatannya dan menyerahkan diri bersama dengan para iblis lainnya. Apakah Anda sanggup?”

Lihat selengkapnya