Dendam yang membara dalam dada Ruminah selayaknya hantu-hantu gentayangan yang mengusik tidurnya sepanjang malam. Tidak satu detik pun mata Ruminah dapat terpejam, meski tubuhnya lelah luar biasa. Sepanjang malam ia habiskan untuk merenungkan rencana ke depannya.
Beruntung para tahanan lain tidak mengusiknya sama sekali dan membiarkannya berdiam diri. Menjelang tidur, Yuli masih menyempatkan untuk menepuk-nepuk pundak Ruminah hingga dirinya sendiri tertidur. Lamat-lamat, secuil rasa tenang mengalir dalam darah Ruminah. Setidaknya, ia tidak merasa sendirian di tengah kecamuk yang menderanya.
Pagi harinya, saat keempat penghuni sel lain sudah bersiap sarapan, Ruminah memilih untuk tetap berada dalam posisi meringkuk di pojok ruangan. Perlahan, Parmi mendekati Ruminah dan mengusap lengannya dengan lembut. “Rum, makan dulu. Biar kamu ndak sakit. Dari semalam kamu belum makan lho. Tak suapi, ya? Kamu duduk aja di sini.”
“Biar saja, Mbak. Biar dia mati sekalian,” seloroh Maryati.
“Maryati! Sudah kubilang jaga mulutmu!” hardik Yuli.
“Kenapa tho kamu suka nyakiti perasaan orang, Mar? Mbok kamu ada empatinya sedikit gitu lho. Coba kamu ada di posisinya Rum gimana rasanya.” Dari belakang punggung Ruminah, Parmi membelanya.
Puji menimpali, “Lho, Mbak Parmi belum tahu tho? Dulu Maryati juga pernah kayak Rum. Tapi dia diperkosa bapaknya sendiri. Bejat tenan tho. Mar sama bapaknya sempat diusir dari kampung. Katanya mereka berzina. Padahal kan Mar ndak salah apa-apa. Rumah mereka sampai dibakar. Mar jadi luntang-lantung di jalan. Kenapa, ya, kok mereka jahat banget. Apa mereka ndak mikir gimana perasaan Mar? Sudah jadi korban, disalahkan, diusir dari kampung. Ndak punya hati.
“Terus waktu Mar sudah punya tempat tinggal sama pekerjaan, bapaknya datang ke dia buat minta uang. Ya wajar tho kalau Mar marah. Makanya dia hampir bunuh bapaknya. Perutnya ditusuk pakai pisau. Ealah, malah bapaknya selamet, terus Mar yang dipenjara. Nasib, nasib. Sabar ya, Mar.”
Jantung Ruminah berhenti berdetak selama sepersekian detik. Penuturan Puji membuat tubuhnya seperti dirambati hawa dingin yang membangunkan bulu roma. Ia tak menyangka di balik kata-kata pedas dan tajam yang dilontarkan oleh Maryati, ternyata perempuan itu menyimpan luka yang begitu dalam.
“Ya Allah, Gusti. Maaf aku baru tahu, Mar,” ujar Parmi.
Maryati tak menanggapi omongan tentang dirinya. Namun, ia memberi reaksi tidak terima dengan melempar alat makannya ke lantai, lantas masuk ke kamar mandi. Pintu itu terbuat dari seng, sehingga saat dibanting terdengar menggelegar.
“Sampai kapan kamu mau jadi tukang gosip, Ji? Kita kan sudah sepakat kalau itu rahasia kita bertiga saja,” ucap Yuli.
“Maaf, Mbak Yul. Aku tadi keceplosan.” Puji tampak merasa bersalah.
“Mbak Puji makanya belajar jaga lisan. Kasihan kan si Maryati. Jadi inget yang dulu-dulu,” kata Parmi.
Terdengar isak pelan dari dalam kamar mandi. Bagian atas pintu yang dibiarkan terbuka membuat tangisan Maryati turut mengoyak perasaan Ruminah. Orang bermulut tajam itu rupanya menyimpan masa lalu yang begitu menyakitkan.
Mungkin cara orang bertahan untuk tetap hidup berbeda-beda. Menjadi penyintas kekerasan seksual tidak akan pernah mudah dilalui. Ditambah luka itu akan membekas sepanjang hayat tanpa bisa disembuhkan secara utuh. Meski kelak akan bisa menerima, bekas lukanya dapat kembali merekah dan bernanah, ketika luka itu kembali disayat.