Hari saat Ningsih menghilang
Pandangan Ningsih iba-tiba diserbu oleh pekat, sesaat setelah mulutnya disumpal kain apak. Sebuah kain hitam menyelubungi seluruh kepalanya, hingga membuat napasnya terbatas dan pendek-pendek. Tubuhnya diseret paksa oleh orang berbadan besar, dengan cengkeraman lengan yang teramat kuat, seolah-olah bisa meremukkan tulang Ningsih yang ringkih.
Jeritannya tertahan oleh telapak tangan orang yang membekapnya dengan sangat erat. Tangan Ningsih mencoba melepaskan tangan pria itu, tetapi ia kalah kuat. Tulang tengkoraknya serasa akan remuk lantaran orang itu memberikan tekanan yang begitu besar agar kepala Ningsih tetap rapat dengan dada bidangnya.
Tak ada seorang pun yang masih berada di luar rumah di atas pukul delapan malam. Nasib malang berpihak pada Ningsih yang kala itu tanpa pikir panjang memutuskan untuk membeli sate dengan berjalan kaki. Seharusnya ia lebih waspada dan membiarkan salah seorang kawannya menemani. Berulang kali Ningsih meminta untuk dilepaskan, tetapi erangannya sama sekali tidak digubris.
Kaki Ningsih diangkat oleh orang yang berbeda ke sebuah mobil. Orang itu mengomando pada sopir untuk melajukan mobilnya. Pekikan Ningsih tertahan di mulutnya. Badannya berusaha meronta. Namun, sebuah lengan kekar mengunci tubuhnya. Satu tangannya tidak bisa digerakkan karena terjepit oleh cengkeraman itu. Tangan lainnya berusaha memukuli kepala orang yang membekapnya. Tak pelak tangan orang itu menangkap lengan Ningsih untuk menghentikannya.
Dua pria itu pun tertawa. “Ayu-ayu kok goblok,” ujar orang yang tadi mengangkat kakinya dan sekarang duduk di samping Ningsih. Kedua tangannya lalu diikat ke depan tubuh. Kain hitam yang semula menutupi kepala akhirnya dibuka. Ratusan semut seakan mengerubungi matanya. Perlu beberapa jenak sebelum pandangannya menjernih. Wajah orang yang berada di sampingnya kian jelas. Laki-laki yang tadi mengangkatnya kakinya, berkepala plontos dengan jaket hitam. Sedangkan pria yang mengunci tubuhnya memiliki rambut ikal yang tampak seperti sarang burung.
“Siapa kalian?” ucap Ningsih dengan mulutnya yang masih tersumpal. Namun, bukan jawaban yang diterimanya, melainkan kain lain yang dililitkan mengelilingi mulutnya dan diikat di belakang kepala. Tak peduli dengan teriakan Ningsih, si kepala plontos menutup kembali matanya dengan kain hitam. Berapa kali pun Ningsih meminta untuk dilepaskan, rasanya percuma saja.
Napas Ningsih memburu. Detak jantungnya bertalu secepat pacuan kuda. Berbagai kemungkinan terburuk bersengkarut dalam benaknya, membuat aliran darahnya menderas. Bayang-bayang kematian bergelayut menyesaki otaknya. Perlahan, pipinya menghangat oleh air mata yang meleleh tanpa jeda. Pikirannya sudah tidak bisa fokus memikirkan jalan keluar. Logikanya telah dikalahkan oleh rasa takut yang mencengkeram akal sehatnya.
Waktu terasa memuai. Setiap detik yang berlalu, Ningsih seperti sedang melangkah pada sebuah jembatan yang di bawahnya berupa kawah berapi. Nyawanya berada di ujung tanduk. Tak ada yang bisa menyelamatkannya.
Sekitar satu jam kemudian, Ningsih diseret turun dari mobil. Lalu dibawa ke sebuah bangunan, entah rumah atau gudang, ia tak bisa memastikan karena kain hitam masih menutupi akses penglihatannya ke dunia luar. Dari pintu depan, Ningsih berjalan sekitar beberapa puluh meter. Terdengar suara pintu diketuk dan handel yang dibuka. Ia didudukkan di sebuah kursi kayu, kemudian tangannya ditarik ke belakang untuk diikatkan ke kursi itu. Selepas penutup kepalanya dibuka, serbuan cahaya menyilaukan matanya. Sebuah lampu tergantung tepat di atas kepala Ningsih.
Dinding ruangan itu tampak kusam dan catnya telah terkelupas di banyak tempat. Namun, lantainya berkeramik putih dan cukup bersih untuk sebuah bangunan tua. Ningsih baru menyadari, ia tak sendirian di ruangan itu. Satu sosok yang menjadi target misinya selama ini berada di hadapannya. Soedirja.
Sosok yang selama ini dibencinya itu menyeringai, memperlihatkan deretan gigi kuning karena terlalu banyak minum kopi. Masih lekat dalam ingatan Ningsih, bagaimana Soedirja dengan angkuhnya mengatakan bahwa ia sama sekali tidak bertanggung jawab atas kematian kedua orang tua Ningsih lima tahun lalu.
Orang tua Ningsih dulu bekerja di pabrik gula milik Soedirja. Sering kali mereka mengeluhkan upah buruh tebu yang makin lama kian terpangkas. Katanya pabrik sedang mengalami kesulitan. Padahal sepertinya produksi justru makin banyak dan omzet masih stabil.
Desas-desus pun santer terdengar di antara para buruh, bahwa Soedirja sedang mengerjakan proyek bersama para konglomerat di ibu kota. Perlu dana besar katanya. Alhasil, upah mereka dikurangi untuk membiayai proyek itu.