Di tengah kesadaran yang terombang-ambing, Ruminah mencoba menyibak kemelut yang bersengkarut dalam kepalanya. Meski pandangannya mulai berkabut, ia tetap berusaha mencari petunjuk sekecil apa pun tentang keberadaan keluarganya. Perempuan itu tidak mengindahkan pihak kepolisian yang telah datang ke lokasi. Kendati sudah berulang kali polisi memintanya untuk menyingkir dari Tempat Kejadian Perkara, Ruminah hanya menganggapnya sebagai angin lalu.
“Mbak, tolong keluar! Mbak bisa merusak barang bukti! Jangan sentuh apa pun di sini!” bentak salah seorang penyidik.
“Rum, mending kita keluar dulu. Kita serahkan semuanya ke polisi, ya.” Gunawan berusaha membujuk Ruminah, yang masih kalang kabut mengobrak-abrik perabotan rumahnya.
Namun tetap saja, Ruminah berpegang teguh pada pendiriannya dan terus mencari entah barang apa. Ia sendiri pun tidak tahu apa yang sebenarnya ingin ditemukan. Yang pasti, kali ini ia harus membuktikan bahwa Soedirja berada di balik ini semua.
“Rum! Sadar!” Terpaksa, Gunawan mengguncang bahu Ruminah yang kini tampak seperti orang kesetanan. Kekalutan tergambar jelas di mata bening Ruminah. Gunawan dapat melihat nestapa yang bergelayut manja dalam tatapan gadis pujaannya.
“Setelah semua yang terjadi, apa Mas Gun masih percaya pada polisi?” ujar Ruminah dengan suara parau nan tajam. Suar yang dulu memancar dari mata itu, kini berganti dengan tatapan putus asa.
Lamat-lamat, Gunawan melepas genggamannya pada bahu Ruminah dan membiarkan perempuan itu melanjutkan pencariannya. Dengan geram, polisi pun terpaksa menyeret Ruminah keluar dari rumah itu.
“Kalau Mbak mau cari, silakan cari di luar! Kalau Mbak mencoba menghalangi proses penyidikan polisi, Mbak bisa dipenjara lagi!”
“Apa jaminannya kalau kalian tidak bersekongkol dengan Soedirja? Bisa saja bukti-bukti penting malah kalian hancurkan. Lalu menjerat orang tidak bersalah untuk dijadikan kambing hitam. Masyarakat juga sudah tahu bagaimana busuknya kalian!” Dada Ruminah kembang kempis. Paru-parunya bak dihunjam oleh ribuan pedang, hingga menimbulkan sensasi sesak yang tak tertahankan. Ingin sekali ia melontarkan sumpah serapah yang sejak tadi menjejal dalam tenggorokannya.
“Mbak, saya tahu Mbak mungkin sangat membenci pihak kepolisian. Tapi, tidak semua polisi seperti itu. Percayalah bahwa masih ada polisi yang jujur. Dan saya jamin, penyidikan ini tidak ditunggangi oleh siapa pun. Sekarang Mbak tenang dulu dan tolong tunggu di luar,” ujar polisi itu dengan nada yang lebih lembut. Ruminah pun akhirnya menurut setelah dibujuk kembali oleh Gunawan.
Di lubuk hati Ruminah, ia masih memelihara secuil harapan untuk dapat menemukan keluarganya dalam keadaan selamat. Bersama Gunawan dan beberapa warga lain, mereka berpencar ke seluruh sudut desa. Namun, usai empat jam penelusuran, tak ada tanda-tanda keberadaan keluarga Ruminah. Masyarakat di dusun lain pun mengaku tidak tahu menahu. Mustaman dan anak istrinya seakan raib begitu saja.
Karena hari sudah mulai gelap, mereka memutuskan untuk melanjutkan pencarian keesokan harinya. Sementara waktu Ruminah tinggal di rumah Pak RT. Gunawan memutuskan untuk menunggui Ruminah hingga tertidur, baru ia akan pulang.
Selepas magrib, sebuah kabar menggemparkan datang dari salah seorang warga yang baru pulang bekerja. Dengan napas tersengal, orang itu menceritakan apa yang dilihatnya tadi sore. Katanya, sesosok mayat ditemukan tergantung di hutan daerah selatan Kertayodya, tepatnya Kecamatan Taluban, dalam keadaan mengenaskan. Seketika, separuh nyawa Ruminah seakan tercerabut dari raga. Kabut tipis mulai menghalau pandangannya. Guncangan hebat meruntuhkan benteng-benteng harapan yang dengan susah payah ia bangun.
Ruminah bersama Gunawan dan Pak RT bergegas menuju tempat yang dimaksud. Sepanjang perjalanan, aliran darah Ruminah menderas. Desir kecemasan menyusup hingga celah-celah terkecil dalam dirinya. Siapa mayat itu? Bapak, Ibu, Tuti, atau Wati?
Cepat dan intens, degup jantung Ruminah bak tabuhan genderang yang nyaris memecahkan gendang telinga. Jika jasad itu hanya satu orang, di mana anggota keluarga Ruminah yang lain?
Semoga jenazah itu bukan salah satu dari mereka. Sayangnya, Ruminah tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Firasatnya terlampau kuat. Ia hanya mampu menggigit bibirnya keras-keras saat kemungkinan itu terasa semakin nyata.
Sesampainya di hutan itu, puluhan lampu senter menyala dari orang-orang yang sudah berkumpul dan mengerumuni lokasi penemuan. Polisi sedang berusaha menurunkan korban, tatkala Ruminah mencoba mendekat.
Serbuan perasaan kelabu menghantam Ruminah bagai gelombang pasang yang menyapu tanpa pandang bulu. Lintang pukang, Ruminah menerobos kerumunan.