Jalan menuju rumah Soedirja begitu lengang. Tidak ada kendaraan yang lewat karena sekarang waktu sudah hampir tengah malam. Semua orang sudah terlelap dan tenang dalam tidurnya.
Berbeda dengan suasana hati Ruminah yang dipenuhi kekeruhan. Perasaannya dirundung kekalutan luar biasa. Semua yang tersimpan di hatinya hanyalah dendam dan amarah yang menggebu. Sosok yang paling dibencinya saat ini harus mendapatkan pelajaran yang setimpal. Diam-diam, Ruminah menyimpan sebilah pisau kecil yang ia sembunyikan dalam saku baju terusannya.
Di sampingnya, Gunawan pun mengunci mulut. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Isi kepala Ruminah diramaikan dengan rencana-rencana pembunuhan. Bagaimana pun caranya, ia harus bisa menghabisi nyawa Soedirja malam ini juga. Iblis seperti dirinya tidak boleh dibiarkan hidup.
Tangan Ruminah mengepal tatkala mobil yang mereka kendarai sudah sampai di sebuah gapura besar. Kediaman Soedirja terletak di Kabupaten Lawangan, sebelah selatan Kertayodya. Rumah itu dikelilingi oleh pagar beton setinggi dua meter. Di lingkungan sekitarnya hanya ada pepohonan yang tumbuh renggang-renggang. Rumah megah lainnya terletak sekitar 400 meter dari sana. Di kawasan itu hanya ada beberapa rumah dengan jarak yang saling berjauhan.
Tanpa gentar, Ruminah menggedor-gedor pintu kayu yang berada tepat di tengah pagar. “Soedirja! Keluar kamu!” Dengan kekuatan penuh, tangan Ruminah memukuli pintu itu berulang kali. Namun, tidak ada jawaban. “Bajingan! Keluar!” Kebencian Ruminah sudah berada di puncak. Ia tidak peduli jika umpatannya akan membuat Gunawan merasa terusik.
“Mas Gun, saya butuh bantuan. Saya perlu mendobrak pintu ini dengan mobil. Apa Mas Gun keberatan?” Nada suara Ruminah tidak mengisyaratkan pertanyaan, melainkan pernyataan tegas yang harus dituruti oleh Gunawan. “Saya akan mengganti kerusakan mobilnya nanti. Saya janji. Sekarang tolong saya.”
“Tapi, Rum ….”
“Ini satu-satunya cara supaya bajingan itu mau keluar, Mas.”
“Tolong jangan gegabah. Mobil ini masih kita perlukan untuk berbagai kebutuhan ke depan. Kita masih harus berjuang buat memenjarakan orang-orang itu, Rum.” Gunawan berusaha membujuk Ruminah. “Bagaimana kalau kita klakson saja berkali-kali sampai ada yang keluar? Saya rasa itu lebih masuk akal.”
Tanpa dikomando lagi, Ruminah segera menuju ke kursi kemudi. Karena mesinnya masih menyala, Ruminah pun dengan mudah memencet klakson berkali-kali. Burung-burung yang bertengger di pepohonan sekitar sana seketika terbang menjauh. Suara klakson itu serupa lolongan nyaring yang memekakkan telinga.
Setelah menekan klakson selama sekitar lima belas menit tanpa henti, akhirnya keberadaan mereka membuat penghuni rumah keluar kandang. Seorang pria plontos berbadan tegap nan atletis, keluar membuka gerbang.
Dilihat dari penampilannya yang serbahitam, berjaket kulit, dan bersepatu lars, sepertinya ia adalah petugas keamanan. Suara berat dan tegas laki-laki itu seharusnya terdengar mengintimidasi. Namun, lantaran Ruminah sedang dalam level keberanian tertinggi, ia pun dengan tegas menanyakan keberadaan Soedirja.
“Sebaiknya kalian pergi, atau saya tidak akan ragu untuk menggunakan kekerasan,” ujar pria itu.
Letupan amarah dalam dada Ruminah tak bisa dibendung lagi. Ia pun nekat merangsek masuk tanpa memedulikan penjagaan laki-laki itu. Dengan cekatan, penjaga itu mencengkeram lengan Ruminah dan menahannya tetap di luar.
“Lepaskan! Saya harus membunuh Soedirja! Atau kamu yang akan saya bunuh!” Lengkingan suara Ruminah kembali memecah keheningan malam. “Bajingan! Keluar kamu! Kamu harus mati!”
“Cukup! Pergi sekarang atau kalian akan tahu akibatnya!” gertak pria itu.
Gunawan pun menghampiri Ruminah dan membujuknya untuk pulang. Namun, Ruminah tetap bersikeras mempertahankan keinginannya. “Silakan kalau Mas Gun mau pulang. Saya bisa sendiri. Saya ndak akan angkat kaki sebelum memastikan Soedirja membayar nyawa keluarga saya. Saya harus tahu di mana keparat itu membuang Ibu.”
Setelah mengatakan itu, tiba-tiba dari arah dalam, muncul empat pria lain. Dua orang menahan Gunawan di tempat, sedangkan dua lainnya membawa Ruminah masuk. “Lepaskan! Saya bisa jalan sendiri!” Namun, kedua laki-laki itu justru semakin kuat menggenggam lengan Ruminah, hingga tulangnya terasa nyeri.