Rinai hujan mengiringi perjalanan Ruminah menuju sebuah rumah yang letaknya tak jauh dari kediaman Soedirja. Bangunan itu berbentuk joglo, tampak sederhana, tetapi bersih dan terawat. Bunga bougenville berwarna merah keunguan memagari taman, dengan rerumputan yang telah dipangkas rapi.
Matahari baru saja menampakkan wajahnya tatkala Ruminah sampai ke rumah itu. Udara dingin merasuk hingga ke tulangnya, membuat sekujur tubuh perempuan itu menggigil. Pakaian dan rambutnya telah lepek oleh keringat.
Semalaman penuh dirinya terjaga sembari menyaksikan penyiksaan paling biadab yang pernah dialaminya. Badannya sudah lelah luar biasanya. Tulang-tulangnya tak bisa diajak berkompromi untuk berusaha melarikan diri. Otot tubuhnya kehilangan daya, melemas dan mengendur selayaknya besi yang dilebur.
Dibandingkan tadi malam, tarikan napasnya telah jauh melambat. Hidupnya seolah-olah ada di ambang kematian, hingga ia takut jika tertidur nyawanya akan lewat. Beban mental yang dibawanya tak pelak membuat energi Ruminah terjun bebas hingga ke batas bawah. Tekanan demi tekanan dari Soedirja berhasil meruntuhkan ego dan idealismenya untuk tetap mempertahankan nama baik dirinya. Keadilan yang selama ini ia perjuangkan telah dikebiri para penjaja undang-undang.
Lima orang wartawan dengan tiga kamera yang telah menyala, sudah siap menyambut kedatangan Ruminah. Meski sudah menduga bahwa pengakuannya kali ini akan berdampak buruk bagi nama baiknya, setidaknya ia bisa menyelamatkan nyawa belasan orang yang masih terkurung dalam neraka bawah tanah itu. Inilah satu-satunya cara supaya ia bisa membalas budi baik mereka yang selama ini memilih membelanya.
Dengan ragu-ragu, Ruminah duduk di kursi yang telah disediakan. Tangannya gemetar. Keringat dingin keluar dari pori-pori telapak tangannya yang tengah ditangkupkan.
“Siap, Mbak?” tanya salah seorang wartawan.
Ruminah mengangguk, meski dalam hatinya menolak dengan tegas. Wartawan itu menginstruksikan supaya Ruminah dapat mulai membuat pernyataan. Lampu kamera telah menyala warna merah dan siap merekam.
“Selamat pagi Bapak/Ibu. Perkenalkan saya Ruminah. Sebelumnya terima kasih karena selama ini Bapak dan Ibu sudah mendukung saya hingga akhirnya saya dibebaskan dari segala tuduhan. Namun, saya mau meminta maaf yang sebesar-besarnya ….” Suara Ruminah menjadi parau. Sekuat tenaga ia menahan gejolak penyesalan yang mendesak rongga dadanya.
Tiba-tiba kepalanya terasa nyeri luar biasa, seperti ada yang memukulkan martil berujung tajam berulang kali. Namun, tatapan tajam dari Soedirja yang berada di belakang kamera, memaksanya untuk melanjutkan kata-kata.
“Saya sangat menyesal dengan apa yang terjadi selama beberapa bulan ini. Saya ingin memohon maaf yang setulus-tulusnya pada pihak-pihak yang merasa dirugikan atas terkuaknya kasus ini. Saya ingin mengakui sesuatu. Bahwa saya … saya sebenarnya tidak pernah diperkosa. Benar adanya bahwa saya telah menyebarkan berita bohong demi mendapat popularitas.” Linangan air mata meleleh tanpa jeda. Punggung tangannya segera mengusap bulir demi bulir yang terjatuh dengan konstan.
“Dan saya ….” Kali ini Ruminah tidak lagi dapat menahan nyeri yang menghunjam kepalanya. Rasa sakit itu membuat perutnya bergolak. Ruminah memuntahkan semua isi perutnya saat itu juga. Tak lama, telinganya berdenging begitu nyaring. Penglihatan Ruminah mulai memirau dan sekitarnya berubah menjadi hijau. Lamat-lamat, seluruh pandangannya lesap dalam gelap.
***