Segara Lara

irishanna
Chapter #26

Fragmen #25

Selama perjalanan, Ruminah dibius dan matanya ditutup kain hitam. Tangannya diikat dengan kuat menggunakan tali tambang. Saat tersadar, Ruminah sudah berada di tengah hutan yang sangat lebat, dengan pepohonan yang tersusun rapat. Orang-orang yang membawanya juga berbeda dari sebelumnya. Mereka mengenakan pakaian yang lebih kasual, berupa kaus hitam, celana olahraga, dan sepatu lars hitam.

Setelah sekitar lima belas menit berjalan, mereka tiba di sebuah tanah lapang. Terdapat sebuah pintu besi yang berbentuk persegi dan diselubungi oleh rerumputan. Hawa pengap dan aroma tidak sedap mengiringi langkah kaki Ruminah sewaktu menuruni tangga.

“Kenapa saya dibawa ke sini? Lepaskan saya!” gertak Ruminah.

“Diam kamu! Atau tak bunuh sekalian!”

Dalam keremangan, Ruminah kesulitan untuk melihat sekeliling. Hanya ada beberapa bohlam kecil kekuningan yang dipasang di langit-langit. Dua orang itu langsung memasukkannya ke sel yang paling dekat dengan tangga. Dengan segera menggembok kembali pintu itu, lalu bergegas kembali ke atas.

Ruangan bawah tanah di belakang rumah Soedirja belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan penjara yang mengungkung Ruminah saat ini. Berada di sekitar sepuluh meter di bawah permukaan tanah, penjara itu lebih pantas disebut sebagai tempat pekuburan.

Rangka manusia dan tulang tengkorak berserakan di dalam sel-sel besi yang penampakannya persis seperti kandang. Setiap sel hanya bisa dihuni oleh satu orang dan harus dalam posisi duduk. Jika berdiri pun tidak bisa sepenuhnya tegak karena bagian atasnya sangat rendah.

Tak hanya bau anyir yang menusuk penghidu Ruminah, aroma amonia bercampur bau daging busuk yang sangat menyengat, semuanya terbaur dalam satu helaan napas. Oksigen yang teramat tipis tak pelak membuat Ruminah tersengal-sengal.

Ia merasa tidak akan bisa bertahan hingga esok hari. Benaknya terus mendesakkan gaung bahwa hidupnya akan berakhir di sini. Ketika ia mencoba menyapukan pandangan ke sekeliling, tiba-tiba telinganya diserbu oleh suara-suara yang begitu familier.

Berjarak lima sel dari tempat Ruminah dikurung, Tuti dan Wati memanggilnya dengan derai air mata. Isakan itu terdengar putus asa dan memilukan. Ruminah memindai sekitar untuk mencari sumber suara. Sekumpulan rasa syukur memeluk hatinya dengan kehangatan tatkala matanya tertumbuk pada sosok kedua adiknya.

Kendati baru sehari mereka mendekam di tempat ini, keadaan keduanya tampak carut-marut. Rambut berantakan, baju penuh dengan cipratan lumpur yang telah mengering, dan wajah mereka penuh lebam.

“Apa yang mereka lakukan pada kalian?” Terlampau nyeri batin Ruminah menyaksikan kondisi dua adiknya itu.

Cerita itu pun bergulir. Pada malam itu mereka semua terpisah. Tuti dan Wati dibawa ke sebuah ruangan kosong yang entah ada di mana. Di sana, mereka diikat di kursi dan dibiarkan tanpa makan dan minum. Keduanya disiksa tanpa sebab yang jelas. Dipukul, ditendang, dijambak, dan diperlakukan semena-mena.

Lihat selengkapnya