Berita pencopotan jabatan Jenderal Susilo tersiar ke seluruh negeri. Setelah lama tak ada kabar terkait pelaporan sketsa para pelaku, akhirnya Gunawan mendapatkan jawaban atas pertanyaannya selama ini. Sebenarnya ia sudah bisa menebak bagaimana akhir dari laporannya itu. Ternyata dugaannya benar. Bahkan, kepala polisi yang paling jujur sekali pun tidak bisa melawan arus deras yang ada di sistem pemerintahan. Alhasil, Gunawan pun harus menggunakan rencana B.
Kali ini tidak ada yang bisa menolongnya. Setelah kemarin pagi Ruminah ditahan di rumah Soedirja dan menyatakan pengakuannya di depan publik, satu-satunya jalan untuk membersihkan nama perempuan itu adalah dengan menyebarkan informasi para pelaku ke media. Gunawan sudah tidak peduli dengan nama baiknya sendiri. Kali ini ia tidak perlu meminta persetujuan siapa pun.
Gunawan mengkopi ratusan sketsa itu, lalu membagikannya ke seluruh media massa. Sejak pagi tadi, ia sudah berkeliling Kertayodya untuk menempelkan selebaran itu ke tembok-tembok yang berada di tempat-tempat umum. Dibantu oleh orang-orang kepercayaannya, mereka juga menyebarkan sketsa-sketsa itu hingga ke pelosok desa.
Aksinya mengundang rasa penasaran warga. Mereka mulai berkerumun di setiap sudut kota dan berkasak-kusuk. Di bagian bawah masing-masing kertas, terdapat informasi bahwa mereka adalah pemerkosa Ruminah. Gadis itu berada dalam tekanan yang kuat sehingga mengaku tidak pernah diperkosa. Dengan berani, Gunawan mengungkap nama Soedirja sebagai pembuat skenario dan mendalangi proses penangkapan Ruminah. Mencari keadilan untuk Ruminah menjadi prioritas Gunawan. Ia meminta para warga untuk turut mendukung aksinya.
***
Di tempat berbeda, Kresna tengah meyakinkan dirinya demi bisa menyelamatkan Ruminah. Pengakuan Ruminah yang kemarin didengarnya melalui berita di televisi, membuat hatinya semakin tidak tenang.
Bisikan-bisikan dalam kepalanya tak henti menghujani Kresna dengan serapah dan cacian. Seolah-olah ada ratusan orang yang bermukim di dalamnya dan secara bersamaan memakinya tepat di samping telinga Kresna.
Para penghuni tak kasatmata itu menyalahkan Kresna karena telah membuat Ruminah menanggung semuanya seorang diri. Berbagai pertanyaan dan firasat buruk berkelindan dalam benak Kresna, serupa jaring laba-laba yang menjerat repihan harapannya. Perasaan bersalah menjelma hantu-hantu yang bergentayangan dalam kepalanya.
Bagaimana kalau Ruminah dibunuh? Bagaimana kalau aku belum sempat meminta maaf padanya? Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri jika hal itu sampai terjadi. Seandainya waktu bisa diputar, seandainya waktu itu aku lebih berani melawan, mungkin Ruminah tidak akan menderita seperti sekarang.
Kendati keberanian Kresna belum terkumpul sepenuhnya, ia harus melakukan sesuatu agar Ruminah bisa dibebaskan. Atau setidaknya ia bisa mengetahui keberadaan Ruminah. Kresna paham betul kalau ayahnya bisa saja melakukan apa pun demi melindungi kedudukannya.
Kresna mencoba menghampiri Soedirja saat tengah bersantai di taman belakang rumah. Secangkir kopi hitam panas dibawa Kresna untuk melunakkan hati Soedirja.
“Ini, Romo. Monggo diminum tehnya.” Kresna mengatakan hal itu sehalus mungkin.
“Wah, kesukaan Romo ini.” Seraya menunggu Soedirja menyesap kopinya, Kresna duduk di kursi sebelah, yang terpisahkan oleh meja bulat kecil.
Saat melihat Soedirja sudah menaruh kembali cangkir itu, Kresna mulai menghela napas dan mengembuskannya perlahan, bersiap untuk mengutarakan maksudnya. “Romo, sebenarnya ada yang ingin saya tanyakan.”
Tanpa mengalihkan pandangan dari koran dalam genggamannya, Soedirja menjawab. “Opo?”
“Di mana Ruminah?”
Tak acuh, Soedirja memberi tahu Kresna, seakan-akan informasi itu hanya angin lalu. “Oh, sudah hampir mati dia. Kamu tenang saja. Semuanya beres. Namamu juga sudah bersih tho?”
Lahar panas membanjir dalam dada Kresna? Namun, ia berusaha menahan sekuat tenaga agar lava itu tidak meluap ke mana-mana. “Apa maksud Romo?”
“Ya dia sudah Romo kurung. Sudah jinak sekarang. Paling bentar lagi mati kehabisan napas. Sudah, ndak usah bahas lonte itu. Dia pantas mendapatkannya.”