Tempat pertemuan Gunawan dan Kresna sudah sangat sepi. Tidak ada lagi kendaraan yang melintas. Untuk pertama kalinya, Gunawan melihat langsung sosok Kresna. Pria itu tampak kuyu, pucat, sangat kurus, hingga tulang pipinya menonjol. Sangat berbeda dengan sketsa wajah yang ia sebarkan. Di sketsa itu, pipi Kresna masih berisi, matanya tajam dan tegas. Namun, orang yang Gunawan temui saat ini seolah-olah adalah orang yang berbeda. Ditambah rambut gondrong ikalnya yang dibiarkan tergerai begitu saja.
Setelah turun dari mobil, mereka sama-sama diliputi kecanggungan. Tidak ada yang berbicara selama kurang lebih lima menit. Waktu seakan berjingkat dengan lambat, hingga akhirnya suara Gunawan membelah keheningan itu.
“Bisa saya terima foto-fotonya?” tanya Gunawan.
Tergemap, Kresna seperti pencuri yang ketahuan menyembunyikan barang curiannya dan terburu-buru mengembalikannya.
“Baik, terima kasih,” ujar Gunawan.
“Mas, saya minta maaf. Saya sangat menyesal.” Permintaan maaf Kresna hanya dibalas dengan embusan keras Gunawan. Entah perlu berapa lama sampai Gunawan bisa memaafkannya. Namun, sepertinya hal itu mustahil.
Tanpa perlu basa-basi lagi, Gunawan bergegas masuk ke mobil, meninggalkan Kresna yang masih mematung di tempat.
Gunawan berencana untuk menyerahkan foto-foto itu ke wartawan Warta Rakyat, sebelum polisi menerimanya. Gunawan sengaja tidak mau melihat potret penderitaan Ruminah di sana. Ia memilih untuk tetap membiarkan foto-foto itu berada dalam amplop.
Saat mobilnya telah melaju sekitar dua kilometer, tiba-tiba dua mobil berhenti di depan Gunawan. “Sial! Jangan-jangan ini jebakan.” Gunawan bersiap memundurkan mobil untuk putar balik, tetapi rupanya dari arah belakang muncul satu mobil lagi. Posisi Gunawan terjepit. Cepat-cepat, ia memindahkan amplop cokelat yang berisi bukti penting kasus pemerkosaan Ruminah di bawah karpet mobilnya.
Tujuh orang berbadan besar dengan pakaian serbahitam mengepung bagian depan mobilnya. Salah satu di antaranya mengetuk kaca jendela dan meminta Gunawan keluar dengan menggunakan isyarat tangan. Agaknya orang itu merupakan pemimpin dari komplotan.
Gunawan hanya membuka kaca jendela dan berpura-pura tidak mengetahui apa-apa. “Ada yang bisa dibantu, Pak?” katanya.
“Keluar!” bentak orang itu.
Sewaktu Gunawan hendak menutup pintu kembali, pemimpin komplotan itu memerintahkan anak buahnya untuk menggeledah mobilnya. Tubuhnya didorong ke bagian depan, lalu kepalanya ditekan hingga menempel di atas kap mobil. Tangannya dikunci di belakang badan dengan amat kuat. Gunawan sempurna tidak bisa bergerak. Apalagi setelah satu orang lainnya membantu pemimpin mereka untuk menggotong Gunawan menuju mobil.
“Saya mau dibawa ke mana? Apa salah saya? Lepaskan!” pekik Gunawan.
“Diam! Atau tak bunuh kamu!”
Dalam gerakan cepat, seseorang sudah membekap mulutnya dengan sebuah kain. Dari kain itu menguar aroma memabukkan yang mengundang ratusan kunang-kunang untuk menyerbu pandangannya. Kesadarannya perlahan hilang.
***
Entah sudah berapa hari Ruminah menempati penjara yang lebih mirip kandang binatang ini. Walaupun mereka diberi makan rutin tiga kali sehari, tidak ada keinginan untuk melahapnya. Tak terhitung berapa kali kedua adik Ruminah muntah-muntah setiap ada makanan yang masuk ke mulut mereka. Bukan karena makanan itu tidak layak, melainkan karena minimnya oksigen dan aroma busuk yang menjenuhi udara sekitar mereka.
Darmi dan Cipto yang sudah berbulan-bulan mendekam di sana, tidak mengindahkan bau anyir yang kerap kali menusuk organ penciuman. Mereka tetap makan dengan lahap karena hanya itu satu-satunya cara agar tetap hidup. Sepucuk harapan masih mereka pelihara untuk bisa kembali berkumpul bersama keluarga.
Saat Ruminah hendak menyuapkan makanan ke mulutnya, terdengar suara pintu terbuka dari atas. Suara derap sepatu pantofel menggema di antara dinding-dinding yang mengapit tangga. Jam makan pagi sudah lewat, jadi tidak ada alasan para petugas yang biasanya mengantarkan makanan kembali mendatangi mereka.
Siapa itu? batin Ruminah. Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Dadanya berdesir entah oleh apa.