Segara Lara

irishanna
Chapter #30

Fragmen #29

Meskipun akhirnya Gunawan bisa mencecap udara bebas, napasnya tetap saja sesak. Mengetahui bahwa ayah yang selama ini begitu dihormati dan dibanggakannya ternyata jauh lebih busuk dari kutu busuk sekalipun, membuat hatinya nyeri. Dengan langkah besar, ia berjalan secepat-cepatnya. Tidak peduli dengan panggilan Rahardja di balik punggungnya. Ia juga tidak mengindahkan kakinya yang telanjang dan penuh lumpur.

Gunawan menembus pepohonan di hutan tanpa tahu ke mana arah yang benar. Ia hanya mengikuti insting dan jalan setapak yang ada di sana.

“Gun! Gunawan! Tolong dengarkan penjelasan Bapak! Gun! Tunggu!” Teriakan Rahardja seolah-olah terbang terbawa angin. Kakinya sudah tidak sekuat dan segesit dulu, sehingga membuatnya kesulitan untuk menyamakan langkah dengan Gunawan.

Setelah beberapa ratus meter berjalan, akhirnya Gunawan menemukan sebuah rumah megah yang ia yakini sebagai rumah Soedirja. Dengan kaki telanjang dan penuh lumpur, Gunawan mendekat ke rumah itu. Dari jarak kurang lebih lima meter, ia bisa mendengar suara Soedirja dan seorang perempuan yang memohon-mohon untuk tidak membawa Kresna. Gunawan melangkahkan kakinya semakin dekat ke arah pintu masuk.

Dalam keadaan diborgol, Kresna menunduk dalam-dalam dan tengah dipegangi oleh dua orang pria berbadan tinggi tegap.     

“Sampean ndak bisa menangkap anak saya! Saya ini Soedirja! Ndak ada yang bisa melawan saya!” Dengan pongah, Soedirja menantang salah seorang polisi yang ada di hadapannya. Di samping Soedirja, tampak seorang perempuan cantik yang terus menangis tanpa henti. Gunawan memperkirakan itu adalah ibu Kresna, karena ia terus menyebut kata “anakku”.

“Tapi, semua bukti sudah jelas, Pak. Foto-foto itu sudah kami periksa keasliannya,” ujar polisi itu.

“Halah! Ini pasti akal-akalan Warta Rakyat saja! Mereka ndak terima kalau wartawannya banyak yang mati,” kata Soedirja.

“Kami bisa menjamin foto ini asli, Pak. Saudara Kresna pun sudah mengaku kalau beliau yang menyerahkan ke kantor Warta Rakyat pada malam hari sebelum beliau menemui Saudara Gunawan. Lalu pagi harinya, teman-teman wartawan yang melaporkannya pada kami,” terang polisi itu.

“Omong kosong kalian semua! Untuk apa pula si Kresna ini repot-repot ke kantor koran segala kalau bisa langsung menyerahkannya ke polisi? Semuanya ini cuma rekayasa untuk menjatuhkan kami!” Air muka Soedirja tampak sangat marah.

“Karena saya sudah muak sama Romo yang selalu bisa menyuap polisi! Saya sengaja hanya menyerahkan beberapa foto ke Mas Gun dan sisanya saya kirimkan ke Warta Rakyat. Kalau saya langsung memberikannya pada polisi, saya tidak bisa menjamin polisi itu akan langsung mengusut kasus ini tanpa ada proses negosiasi,” ujar Kresna dengan geram.

“Kamu ini memang bocah goblok!” Sebelum Soedirja berhasil memukul Kresna, polisi itu segera memerintahkan anak buahnya untuk membawa Kresna pergi dari sana.

“Bawa tersangka sekarang! Cepat!” perintah polisi itu dengan tegas.

Saat Soedirja hendak mengejar Kresna, dengan cepat Gunawan menghalau pria itu. Gunawan memegangi kedua bahu Soedirja dengan kuat.

“Lepas! Mereka ndak tahu siapa aku! Aku bakal lapor sama Jenderal Besar. Supaya mereka tahu rasa!” ujar Soedirja.

“Ini waktunya kamu menebus semua dosa-dosamu, Dirja. Membusuklah di penjara,” ucap Gunawan.

“Tahu apa kamu? Kalau aku sampai tertangkap, bapakmu itu juga bakal ikut terseret. Perusahaanmu bakal bangkrut! Mau kamu jatuh miskin?” Mata Soedirja membeliak hingga nyaris keluar dari rongganya.

“Aku tidak sepertimu yang sangat tamak dan rakus. Aku lebih memilih tidak punya apa-apa daripada harus menanggung dosa hingga akhir hayat nanti. Sekarang beri tahu aku, di mana Ruminah?” Gunawan mencengkeram kerah Soedirja dengan terlampau kuat, hingga nyaris mencekik lehernya.

Soedirja mengangkat sebelah tangannya, sebagai tanda bahwa anak buahnya tidak perlu menyingkirkan Gunawan. “Kamu mau membunuhku, Gun? Cuma gara-gara lonte itu?”

Buk! Pukulan keras telak mengenai tulang hidung Soedirja. Tubuh rentanya terhuyung, hingga jatuh ke lantai. Lubang hidungnya tampak mengeluarkan darah segar. “Bajingan!” Soedirja mengusap mulutnya yang semakin banyak berlumuran darah. Belum sempat lelaki itu berdiri, Gunawan sudah duduk di atas badannya.

Gunawan memanfaatkan kesempatannya sebaik mungkin untuk membalas dendam. Entah sudah berapa kali ia melayangkan bogemnya ke tulang pipi kanan dan kiri Soedirja. Baru saat Soedirja sudah tampak kewalahan, ia menghentikan aksinya. Kepalan tangannya melayang di udara.

“Kenapa, Gun? Ayo bunuh aku sekarang juga,” tantang Soedirja seraya terbatuk-batuk. Cairan merah memercik ke lantai, terciprat dari mulutnya yang telah penuh dengan darah.

“Di mana Ruminah? Aku hanya butuh keberadaan Ruminah sekarang.” Air mata Gunawan akhirnya luruh. Perlahan ia menurunkan bogem mentahnya dan mulai tersedu.

Lihat selengkapnya