Tiga bulan kemudian
Tak perlu menunggu waktu lama bagi Ruminah dan Gunawan untuk memantapkan diri menuju jenjang pernikahan. Keduanya telah melalui banyak suka duka bersama. Setiap kali masalah datang, justru koneksi mereka menjadi semakin kuat. Sulastri juga sudah menyetujui hubungan mereka, mengingat pengorbanan dan perjuangan Gunawan untuk putrinya terbilang sangat besar.
Kendati masih belum bisa memaafkan Rahardja, Ruminah membujuk Gunawan untuk mengunjungi ayahnya di penjara. Sampai saat ini Rahardja masih menunggu proses eksekusi yang dijadwalkan dua minggu lagi. Sebelum terlambat, setidaknya satu kali saja Gunawan menjenguk ayahnya, sekaligus memohon doa restu untuk mereka. Sebab, Gunawan sama sekali belum pernah membesuk di penjara dan tak pernah sudi untuk datang ke persidangan.
Dengan menggunakan bus, keduanya bertolak menuju Kertayodya. Trauma yang masih mengakar itu belum juga hilang. Kertayodya selayaknya neraka bagi mereka berdua. Terlebih, penjara itu juga dihuni oleh Soedirja dan Kresna. Sedangkan tiga pelaku lain ditangkap di ibu kota. Namun, mereka harus melawan rasa sakit itu lantaran ada hal lain yang harus mereka lakukan usai bertemu dengan Rahardja.
Sesampainya di sana, ternyata jam kunjungan sudah hampir habis, hanya tersisa waktu sepuluh menit untuk bisa berbicara. Rahang Gunawan tampak mengeras, kedua tangannya mengepal, lututnya bergerak naik-turun, menandakan hatinya yang gelisah.
“Mas tenang, ya.” Ruminah mengelus kepala Gunawan dengan lembut. Serangkaian ingatan tentang pengalamannya selama di penjara, berloncatan dalam benak Ruminah. Apa yang dilihatnya sekarang, seperti sesuatu yang familier, tetapi juga asing.
Sejurus kemudian, Rahardja datang lantas duduk di hadapan mereka. Perawakannya jauh lebih kurus dibandingkan terakhir kali Ruminah bertemu pria itu, ketika membebaskannya dari penjara bawah tanah. Tatapan tajam yang diwariskan pada Gunawan kini menjelma padang gersang yang kerontang. Kegagahan yang dulu ia punya bak lesap tak bersisa.
Keheningan dengan lihai membuat arus waktu seakan memuai. Detik yang berlalu terasa panjang dan menyesakkan. Gunawan terlihat sekuat tenaga mengatur emosinya agar tidak meledak. Pandangannya tertuju ke lantai.
Kesunyian itu pun pecah oleh kata-kata Rahardja. “Gun, Rum, waktu Bapak mungkin tidak banyak lagi.” Bahu Rahardja tampak berguncang. Tergugu-gugu, ia meminta permohonan maaf. “Bapak ingin minta maaf pada kalian. Mungkin kebaikan-kebaikan yang Bapak lakukan tidak akan pernah bisa membayar tumpukan dosa di masa lalu. Bapak sangat menyesal. Seharusnya dulu Bapak tidak haus dengan kekuasaan dan gelimang harta. Karena keduanya serupa racun yang menjalar dengan cepat dan dapat menggerogoti nurani siapa saja. Seharusnya Bapak bisa berhenti, tetapi saat itu Bapak terlalu rakus dan selalu ingin lebih lagi. Seandainya waktu bisa diputar, lebih baik Bapak hidup sederhana dan menjadi orang biasa,” pungkas Rahardja dengan berurai air mata.
Gunawan masih saja tertunduk dengan mulut terkunci rapat. Ruminah pun berinisiatif menjawab lebih dulu permintaan itu. “Kami sudah memaafkan Bapak.” Tangan Rahardja terasa kasar dan dingin dalam genggaman Ruminah. “Saya juga ingin berterima kasih karena Bapak telah menyelamatkan saya dan kedua adik saya.”
“Itu sudah jadi kewajiban Bapak, Nak.”
Mendengar panggilan itu, jantung Ruminah berdesir akibat teringat pada Mustaman. Tiba-tiba tebersit nama dua orang lain yang kala itu juga dibebaskan oleh Rahardja. “Pak, kalau boleh saya tahu. Di mana Bu Darmi dan Pak Cipto sekarang?”
“Bapak minta mereka diantar ke Kota Ketawang, daerah barat sana. Sama seperti kalian, Bapak juga sudah siapkan tempat tinggal yang nyaman. Tapi, Bapak tidak tahu apakah sekarang masih di sana atau tidak. Alamat lengkapnya juga Bapak tidak tahu,” terang Rahardja.
“Baik, Pak. Terima kasih sekali lagi sudah membantu kami.”
Tersebab Gunawan tidak juga bersuara, Ruminah mencoba membujuknya dengan berbisik. “Mas, sebaiknya Mas Gun sendiri yang bilang ke Bapak.”