Gundukan tanah merah di depan Ruminah begitu terawat. Dengan rutin, Gunawan membersihkan makam ibunya. Namun, baru kali ini ia mengajak Ruminah ke sana. Menurut cerita Gunawan, ibunya adalah sosok yang sangat cantik, keibuan, anggun, dan tutur katanya lembut.
“Bu, ini Ruminah. Calon menantu Ibu. Cantik sekali, Bu. Sama seperti Ibu. Mohon maaf baru sekarang Gun bisa mewujudkan salah satu keinginan Ibu. Rencananya kami akan menikah bulan depan. Mohon doa restunya, ya, Bu. Semoga kami bisa membina rumah tangga yang bahagia dan selalu bisa saling menjaga. Ibu istirahat yang tenang, ya.”
Usai menabur bunga mawar dan menyirami kuburan itu, mereka bertolak menuju pekuburan lain yang terletak di desa tempat tinggal Ruminah dulu. Ruminah dan Gunawan duduk menghadap sebuah batu nisan. Ia memperkenalkan Gunawan pada ayahnya.
“Pak, ini Gunawan. Dulu Bapak ndak menyetujui kami karena beda status sosial. Sekarang, semuanya sudah berubah. Setiap ujian pasti ada hikmahnya kan, Pak? Mungkin kami memang harus mengalami banyak hal menyakitkan dan kehilangan orang-orang yang kami cintai. Tapi, seperti kata Bapak, Allah ndak pernah tidur. Akan selalu ada pelangi setelah badai. Yang perlu kita lakukan cuma percaya dan tawakal. Mungkin ini hadiah dari Allah untuk Rum dan juga Mas Gun. Karena kesabaran selalu mendatangkan hal-hal baik yang mungkin ndak kita duga sebelumnya.”
Setelah menabur bunga dan menyirami makam, mereka berdiri dan berjalan pulang. Ruminah melingkarkan tangannya ke lengan Gunawan. Kepalanya bersandar di bahu pria itu. Mereka memandang satu sama lain dengan penuh kelegaan. Kini, semuanya telah kembali ke tempat semula.
“Terima kasih, ya, Mas.”
“Untuk?”
“Sudah selalu ada untuk saya, kapan pun saya butuh.”