Segara Renjana

Wirdatun Nafi'ah
Chapter #1

Hitam Putih #1

Tahun 1985

Zafirah keluar dari kamarnya dengan terburu-buru. Di hari pertama ospek kampus, dia malah bangun kesiangan. Tiga puluh menit lagi ospek di mulai dan ia masih luntang-lantung mencari di mana sepasang kaos kakinya berada. 

“Duh, semalam sudah aku siapkan kaos kaki itu, tapi di mana sekarang?” Zafirah mengobrak-abrik lemarinya sambil sesekali membetulkan kerudung hitamnya. 

Salah satu pengurus Pesantren Ayyubiyah yang sekamar dengan Zafirah melihat santri baru yang kebingungan itu. Dihampirinya dengan tatapan iba. “Mencari apa?” 

“Mbak, aku kehilangan kaos kakiku, padahal sudah aku siapkan dari semalam, aku taruh di lemari ini, tapi nggak ada,” keluh Zafirah. 

Pengurus itu mengambil sepasang kaos kaki di lemarinya. Koleksi kaos kakinya cukup banyak dan beragam. Ia mengambil kaos kaki berwarna hitam kemudian memberikannya kepada Zafirah. “Ini, pakai punyaku dulu, bentar lagi jam tujuh loh, kamu bisa terlambat datang ke ospekmu.”

Tanpa pikir panjang, Zafirah mengambil kaos kaki itu. “Terima kasih, Mbak!” 

Ia pun berlari menuju halaman pesantren yang sudah ramai dengan lalu lalang para santri. Sedang serius berlari hingga hampir terjerembap, seseorang memanggilnya dengan lantang. “Zafirah! Tunggu aku!” 

Untung saja kaki Zafirah masih cakram untuk pemberhentian mendadak. Ia menoleh ke belakang, “Ning Halwa?!” 

Secepat kilat Ning Halwa menarik tangan Zafirah sambil berkata, “Kita sudah terlambat!” Mereka pun kembali berlari menuju kampus. Tak butuh waktu yang lama untuk sampai di kampus karena masih satu lokasi dengan pesantren. Meski demikian, mereka akan sangat malu jika sampai terlambat di hari pertama ospek. Mereka menyelinap di sela-sela barisan mahasiswa baru Universitas Walisongo. 

Barisan mahasiswa baru itu tampak rapi dengan dresscode hitam putih, meski beberapa wajah terlihat tegang. Panitia ospek mulai memeriksa satu per satu barisan. Zafirah dan Ning Halwa berdiri di barisan belakang, sedikit cemas karena tahu mereka berada di barisan yang salah. Sesuai pembagian barisan, mereka seharusnya berada di barisan Pendidikan Agama Islam, tetapi karena terlambat datang, mereka terpaksa berbaris bersama mahasiswa jurusan Ekonomi Islam.

"Ning Halwa, gimana ini? Nanti kalau ketahuan, kita bisa kena marah," bisik Zafirah sambil melirik panitia yang mulai mendekat.

Ning Halwa, dengan senyuman khasnya yang tenang, hanya mengangkat bahu. "Tenang, Za. Kita bisa alesan. Bilang aja nggak sempat lihat pembagian kelompok."

Zafirah mengangguk, meskipun perasaannya masih tak karuan. Panitia ospek akhirnya tiba di depan barisan mereka. Salah satu panitia, seorang kakak kelas laki-laki dengan tatapan tegas, memeriksa tanda pengenal yang digantung di leher mereka.

"Jurusan apa kalian?" tanyanya, pandangan tajam mengarah ke Zafirah dan Ning Halwa.

"Jurusan Pendidikan Agama Islam, Mas," jawab Zafirah cepat, berharap suara gemetarannya tidak terdengar. 

Panitia itu mengangkat alis, tapi sebelum ia sempat berkata apa-apa, terdengar suara lantang dari seorang senior lainnya. “Terus kenapa kamu baris di sini? Ini jurusan Ekonomi Islam!” 

“Loh, kami kira ini barisan Pendidikan Agama Islam, Mbak, kami bingung, soalnya semua barisan… tampak sama,” ucap Ning Halwa enteng.

"Yang jurusannya salah, segera pindah ke barisan yang benar!" ucap senior perempuan itu.

Zafirah dan Ning Halwa saling pandang sejenak, lalu dengan canggung berjalan keluar dari barisan. Beberapa mahasiswa lain ikut menoleh, tapi Zafirah menunduk, berusaha mengabaikan perhatian mereka. Mereka cepat-cepat menuju barisan Pendidikan Agama Islam yang masih tersisa tempat kosong di ujung.

"Untung nggak dimarahin," bisik Zafirah ketika mereka sudah di posisi.

"Sudah kubilang, kan?" Ning Halwa menyenggolnya pelan.

Namun sebelum mereka sempat merasa lega, suara seorang kakak kelas perempuan yang menjadi koordinator barisan jurusan mereka terdengar, "Mahasiswa baru! Kalian datang terlambat?"

Zafirah dan Ning Halwa hanya bisa mengangguk lemah, bersiap mendengar teguran lebih lanjut.

Kakak kelas perempuan yang menjadi koordinator jurusan mereka, seorang mahasiswa angkatan tua dengan wajah tegas, melipat tangan di depan dada. “Terlambat di hari pertama? Ini tidak bisa dibiarkan,” katanya dengan nada sinis.

Zafirah dan Ning Halwa saling pandang, berusaha mencari cara agar situasi tidak memburuk.

“Kalian dua orang, berdiri di depan barisan!” perintahnya.

Dengan hati-hati, mereka maju ke depan. Zafirah merasa jantungnya berdegup lebih kencang. Pemandangan puluhan pasang mata mahasiswa baru yang menatap mereka membuatnya sedikit gugup. Ning Halwa, di sisi lain, tetap tenang meski matanya tampak waspada.

“Kalian tahu ini hari penting, kan?” lanjut kakak kelas itu. “Hari ini kita semua mengenal kampus, mengenal satu sama lain. Ketepatan waktu itu dasar disiplin. Bagaimana bisa menjadi mahasiswa yang baik kalau terlambat di awal?”

Zafirah menggigit bibirnya, menahan diri agar tidak menjawab, meski dalam hatinya ia ingin menjelaskan bahwa keterlambatan mereka bukan karena sengaja. Namun, ia tahu, berbicara sekarang hanya akan memperburuk keadaan.

“Baiklah,” kata kakak kelas itu setelah hening beberapa detik. “Karena kalian terlambat, ada tugas tambahan untuk kalian. Kalian akan memimpin yel-yel untuk jurusan Pendidikan Agama Islam. Saya ingin melihat semangat kalian! Ayo, mulai!”

Zafirah dan Ning Halwa terpaku. Mereka tidak siap untuk itu. Tidak pernah terlintas di pikiran mereka untuk berada di posisi ini. Zafirah menoleh ke Ning Halwa, berharap temannya punya ide. Ning Halwa menatap lurus ke depan, tampaknya mulai memikirkan sesuatu.

"Tenang aja, kita bisa," bisik Ning Halwa sebelum mengangkat tangan dan mulai bertepuk tangan dengan irama. “P-A-I!” serunya, mulai memimpin yel-yel yang sederhana namun cukup kuat.

Zafirah mengikuti dengan cepat, suaranya semakin bersemangat seiring dengan meningkatnya antusiasme dari barisan teman-teman jurusan mereka. "P-A-I! Pendidikan Agama Islam! Satu, dua, tiga, jaya!"

Teriakan mereka mulai menggema, dan entah bagaimana, energi dalam barisan mereka tiba-tiba berubah. Mahasiswa-mahasiswa baru lain mulai ikut bersorak, mengikuti ritme yang dipimpin oleh Zafirah dan Ning Halwa.

Kakak kelas yang tadi tegas berdiri, perlahan mengangguk. “Cukup baik. Tapi ingat, ketepatan waktu adalah segalanya. Lain kali, jangan terlambat.”

Lihat selengkapnya