Tahun 1986
Hari pertama perkuliahan semester baru membawa kejutan besar bagi mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam. Di papan pengumuman kampus, mata kuliah yang paling ditakuti muncul: Filsafat Ilmu, diampu oleh dosen terkenal karena gaya mengajarnya yang ketat, Pak Burhan. Di samping mata kuliah, sebuah catatan tertulis: Tugas pertama: membuat makalah tentang hubungan filsafat dengan ilmu keislaman. Kelompok dibentuk sendiri sebanyak dua orang. Batas waktu tiga minggu.
Zafirah membaca pengumuman itu sambil tersentak. "Wah, tugas filsafat! Ini pasti berat," gumamnya.
Ning Halwa, yang berdiri di sebelahnya, hanya mengangguk pasrah. “Makalah tentang hubungan filsafat dengan ilmu keislaman? Ini bukan tugas biasa, Firah. Kita harus pintar-pintar cari referensi.”
Zafirah mengangguk, otaknya sudah bekerja keras memikirkan siapa saja yang bisa diajak diskusi. "Ning, kita sekelompok atau cari yang lain?"
Ning Halwa tersenyum, lega mendengar ajakan Zafirah. “Aku sudah berharap kamu yang ajak duluan. Kamu kan jago kalau soal nulis dan argumen,” jawabnya setengah berbisik.
Setelah saling menyetujui, mereka mulai membahas strategi menghadapi tugas itu. “Kita perlu banyak referensi,” kata Zafirah. “Perpustakaan kampus kayaknya nggak cukup, kita harus cari juga di pasar buku bekas. Ada buku-buku yang nggak ada di perpustakaan kampus.”
“Setuju!” sahut Ning Halwa. “Kalau begitu, besok sepulang kuliah kita ke sana, siapa tahu ketemu buku-buku filsafat yang bisa bantu kita memahami hubungan filsafat dan Islam lebih dalam.”
Keesokan harinya, setelah perkuliahan selesai, mereka berangkat ke pasar buku bekas di dekat kampus. Suasananya ramai, bau kertas usang memenuhi udara, dan buku-buku berjajar rapi di atas lapak. Mereka dengan semangat mencari judul-judul yang bisa membantu menyusun makalah mereka. Zafirah menemukan beberapa buku karya Al-Ghazali dan Ibn Sina, yang sering dijadikan rujukan dalam kajian filsafat Islam.
“Ini ada buku tentang sejarah pemikiran Islam dan ada buku pemikiran Al-Ghazali!” seru Ning Halwa sambil mengangkat dua buku tebal dengan sampul kuno.
“Bagus, kita ambil!” jawab Zafirah, matanya berbinar melihat beberapa judul yang kelihatan langka.
Setelah menemukan beberapa buku yang sesuai, mereka pulang ke pondok dan mulai berdiskusi. Hari demi hari, Zafirah dan Ning Halwa tenggelam dalam diskusi yang semakin intens. Mereka membahas konsep-konsep yang rumit tentang filsafat dan bagaimana itu berhubungan dengan ilmu keislaman. Zafirah, dengan gaya berpikir kritisnya, sering kali menanyakan konsep-konsep yang lebih dalam, sementara Ning Halwa berusaha mencari cara untuk menyederhanakannya.
Sementara di tempat lain, di lorong kampus yang agak lengang, Adnan bersandar santai sambil tersenyum melihat antusiasme Fajar yang luar biasa. “Nan, ayo dong! Kalau kita mulai sekarang, bisa langsung cari referensi di perpustakaan dan mungkin nggak perlu buru-buru di akhir waktu!” Fajar mencoba membujuk Adnan lagi, yang malah tampak tenang seolah tugas itu bukanlah beban berat.
Adnan menghela napas sambil tertawa kecil. “Fajar, santai aja. Masih ada tiga minggu, nggak usah buru-buru banget. Lagian, filsafat kan lebih seru kalau kita pelajari pelan-pelan, nggak asal langsung bikin makalah.”
Fajar menggeleng, tidak puas dengan sikap Adnan. “Bukan soal buru-buru, Nan. Kalau kita paham dasar-dasarnya lebih awal, debat sama kelompok lain bisa lebih kuat! Kamu tahu kan, ini tugas berat, Pak Burhan juga nggak main-main.”
Adnan mengangguk dengan santai. “Iya, iya, aku ngerti. Tapi kalau mau paham filsafat, kita nggak bisa asal hafal aja. Harus paham konsepnya pelan-pelan, Jar. Gimana kalau kita mulai dengan diskusi kecil dulu?”
Fajar akhirnya setuju, dan mereka mulai duduk di taman kampus, membuka beberapa catatan dan buku-buku yang baru saja dipinjam dari perpustakaan. Perlahan, Adnan memimpin diskusi dengan gaya yang tenang, menjelaskan konsep-konsep dasar dari pemikiran filsafat dan mencoba menyambungkannya dengan ilmu keislaman.
“Kalau menurutku, filsafat itu semacam alat untuk meneliti hal-hal yang nggak terlihat, buat mempertanyakan realitas di balik ajaran agama kita,” jelas Adnan, sesekali melirik buku yang ada di pangkuannya. Fajar yang awalnya tampak terburu-buru justru mulai terbawa dalam diskusi yang menarik ini. “Benar juga, Nan. Aku belum pernah berpikir sampai situ. Kalau gitu, filsafat bisa bantu kita memahami iman secara lebih mendalam?”
Adnan mengangguk, matanya berbinar. “Tepat sekali. Mungkin itu yang dimaksud Pak Burhan dengan tugas ini. Bukan sekadar hafalan teori, tapi menghubungkan konsep filsafat sama keislaman kita.”
Diskusi mereka semakin intens, dan Fajar akhirnya mulai melihat bahwa tugas filsafat ini lebih dari sekadar makalah biasa. Meskipun mereka baru memulai, ia merasa beruntung bisa berdiskusi dengan Adnan, yang tenang namun punya pemikiran yang dalam. Hari itu, tanpa terasa mereka menghabiskan waktu berjam-jam, hingga akhirnya sepakat untuk bertemu lagi besok pagi untuk melanjutkan pembahasan.
Mendekati batas waktu pengumpulan tugas, masalah baru muncul. Hampir semua kelompok berebut menggunakan mesin tik di perpustakaan. Kampus hanya memiliki satu mesin tik yang bisa digunakan mahasiswa, dan dengan batas waktu yang semakin mendekat, antrean semakin panjang.
"Ya ampun, panjang sekali antreannya," keluh Ning Halwa, menatap antrean dengan ekspresi pasrah. “Padahal kita butuh mesin tik itu untuk merapikan makalah kita.”