Perpustakaan pribadi Adnan terletak di sudut rumahnya yang sederhana, namun terasa hangat dan penuh jiwa. Ruangan itu tidak terlalu besar, tapi cukup untuk dua rak buku kayu berukuran sedang yang berjajar rapi dari lantai hingga langit-langit. Rak buku ini menampung berbagai buku yang disusun berdasarkan tema, mulai dari filsafat Islam, sejarah peradaban, sastra klasik hingga teks ilmiah modern. Meski rak kayu berwarna coklat tua terlihat usang, namun tetap terawat dan memiliki nuansa antik yang menawan. Terdapat meja kecil sederhana namun fungsional di sudut ruangan, tempat Adnan sering membaca atau menulis catatan.
Di atas meja, terdapat beberapa tumpukan buku yang telah dibaca Adnan. Ada juga lampu meja bergaya klasik yang memancarkan cahaya hangat kekuningan, menerangi halaman buku dan menimbulkan kesan intim saat membaca malam. Di dinding perpustakaan tergantung beberapa lukisan kecil yang menggambarkan tokoh-tokoh berpengaruh dalam sejarah Islam seperti Ibnu Sina, al-Farabi, dan Imam al-Ghazali, yang jelas-jelas menginspirasi Adnan.
Di sudut lainnya terdapat papan tulis kecil berisi catatan Adnan tentang berbagai hal, mulai dari kutipan inspiratif hingga materi ceramah dan sketsa singkat ide yang sedang ia kembangkan. Tepat di luar pintu masuk, terdapat rak khusus berisi buku-buku langka dan buku-buku yang jarang ditemukan di toko umum. Buku-buku ini disimpan dengan hati-hati dalam kotak plastik bening, dan beberapa di antaranya merupakan buku cetakan lama yang halamannya mulai menguning. Bagi Adnan, ini adalah bagian paling istimewa dari perpustakaannya.
Aroma khas perpustakaan pribadi ini adalah perpaduan kertas bekas, kayu, dan mungkin kopi yang sering diminumnya sambil membaca. Suasananya yang tenang dan tertata rapi, dengan pencahayaan yang memadai menjadikan ruangan ini sedikit oase bagi setiap orang yang memasukinya. Perpustakaan bukan sekadar tempat menyimpan buku, tetapi juga ruang meditasi pribadi, tempat Adnan menghabiskan waktu berjam-jam dan membenamkan dirinya dalam dunia pengetahuan tanpa batas.
Usai menunaikan salat Tajahud, Adnan selalu menyempatkan diri membaca di perpustakaan sambil menunggu azan subuh. Kali ini Adnan membaca buku tentang peradaban Islam yang akan dibahas dalam kuliahnya. Dengan perlahan ia membuka halaman tentang Baitul Hikmah di Bagdad, tempat berkumpulnya para ilmuwan dan cendekiawan dari berbagai bidang.
Matanya berbinar takjub ketika membaca bagaimana ilmu matematika, astronomi, kedokteran, dan filsafat diterjemahkan dari berbagai bahasa, termasuk Yunani dan Persia, dan tersebar ke seluruh dunia. Saat membaca, Adnan tak bisa menahan senyumnya. Di benaknya, terbayang seolah ia ikut hadir di sana, di ruang yang dipenuhi suara kertas yang dibolak-balik dan percakapan yang penuh intelektualitas. Ia merasa seakan berada di antara para ulama besar seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina, berbicara tentang ilmu yang tiada batasnya. Buku ini membuka perspektif yang semakin mendalam tentang bagaimana peradaban Islam menghargai dan mengembangkan ilmu pengetahuan, sebuah gagasan yang sangat ia kagumi.
Adzan subuh pun akhirnya terdengar, membangunkan suasana sunyi malam itu. Adnan menutup bukunya perlahan, merasakan sebuah dorongan dalam dirinya yang ingin sekali ia wujudkan dalam diskusi di kelas nanti. Ia ingin agar semangat mencintai ilmu, seperti yang terjadi di masa lalu, bisa menjadi bagian dari cara pandang teman-temannya juga.
Adnan kemudian meninggalkan perpustakaan pribadinya lalu bersiap menunaikan salat subuh. Saat itu, terdengar suara bel sepeda onthel dari halaman rumahnya. Jendala kamar Adnan kemudian berbunyi seperti ada yang mengetuk. Perlahan ia membuka jendela kayunya itu.
“Fajar? Sepagi ini?” Adnan cukup terkejut melihat Fajar sudah rapi dan siap berangkat ke kampus.
“Kamu lupa? Hari ini mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam dimajukan jam 7 pagi karena siangnya ada acara dies natalis universitas. Kita harus naik bus yang jam 5,” jelas Fajar.
“Ya Allah, aku lupa, ya udah aku subuhan dulu, Jar.” Buru-buru Adnan menutup jendela kamarnya lalu menunaikan salat subuh. Secepat kilat, Adnan telah berbusana rapi dengan rambut yang klimis. Ia berpamitan dengan orang tuanya kemudian berangkat bersama Fajar dengan berjalan kaki menuju jalan raya untuk menaiki bus ke arah kampusnya.
***
Di pagi yang masih gelap, Adnan dan Fajar bergegas menaiki bus tua yang sudah menunggu di tepi jalan desa. Udara pagi masih dingin, tetapi suasana dalam bus penuh dengan kesibukan yang ramai. Para penumpang, sebagian besar adalah pedagang sayur, ayam, dan ikan, sibuk mengatur barang-barang mereka—karung sayuran segar, keranjang berisi ayam hidup, dan beberapa kantong yang mengeluarkan aroma khas hasil bumi yang mereka bawa untuk dijual di pasar kota. Suasana riuh dengan obrolan ringan dan tawa para pedagang yang sudah saling mengenal.
Adnan dan Fajar duduk di bangku belakang, menyelinap di antara keranjang-keranjang yang diletakkan di lorong bus. Fajar menutup hidungnya, meski tersenyum tipis melihat Adnan yang tampak tenang, sudah terbiasa dengan perjalanan ini.
"Udah kebal ya, Nan, sama aroma khas ini?" canda Fajar sambil menahan tawa.