Mei, Tahun 1998
Negeri ini dilanda kekacauan, hal tersebut terjadi di mana-mana mulai dari badai krisis ekonomi yang mencapai puncaknya menyebabkan harga bahan pokok melengking naik, ratusan perusahaan gulung tikar hingga jumlah pengangguran meningkat, terjadinya banyak penjarahan disejumlah daerah khususnya di Jakarta, kerusuhan serta demonstrasi mahasiswa yang menuntut agar masa Orde Baru yang telah menjadi monarki selama 32 tahun ini harus segera diakhiri. Belum lagi kasus seperti kekerasana dan pelecahan yang marak terjadi.
Aku berumur 9 tahun, seorang anak kecil yang penuh dengan rasa ingin tahu, aku tinggal di Jakarta Barat. Hari ini sekolahku tidak diliburkan, jadi mau tak mau aku harus tetap sekolah. Apalagi tetangga cerewetku adalah anak rajin dan berprestasi, namanya Anindita Lau. Keturunan Tionghoa-Jogja dari sang Baba dan Medan dari sang Mama, parasnya lebih banyak mengambil gen Baba jadinya ia berparas oriental khas peranakan. Orang-orang memanggilnya An, jadi aku menambahkan kata kak sebelum namanya, Kak An.
Aku dan Kak An memang selalu berangkat dan pulang bersama karena jarak sekolah kami yang berdekatan, kalau sekolah Kak Dira cukup jauh dari sini, belum lagi sekolahnya diliburkan sejak kemarin. Aku malas pergi tadi pagi, tapi karena tak tega jika Kak An berangkat sendiri, maka disinilah aku saat ini. Duduk di teras kelas 4 yang telah lenggang sebab sebagian besar murid sudah bubar saat bel tanda pulang dibunyikan, kami dipulangkan lebih awal, ya meski tak tahu apakah sekolahnya Kak An sama sepertiku tapi Ibu tadi pagi melarangku pulang sendiri jadi lebih baik menunggu sajalah.
Mulanya ada beberapa guru yang menawariku untuk pulang bersama tapi bagaimana jika nanti Kak An datang dan tak menemukanku. Aku lantas menolak dengan berkata akan pulang dengan kakakku saja, satu jam aku menunggu tapi dari tadi aku tak melihat batang hidungnya.
Ah mungkin saja dia tak dipulangkan lebih awal seperti sekolahku, baik ayo tunggu sebentar lagi. Namun rasa bosanku sudah melebihi ambang batas jadi melangkahlah aku ke pos satpam yang ada di samping kiri gerbang, berakhir menghabiskan waktu mengobrol dengan Pak Muklis -satpam sekolah- yang masih siaga di posnya.
Meskipun terkenal tegas dan galak tapi untuk siswi baik sepertiku ia adalah orang yang ramah, saat kami sedang asik membahas anak ayam Pak Muklis yang kemarin hilang satu, dari arah gerbang terlihat Bapak yang sedang mencariku. Loh kok Bapak ada disini sih? Bukannya tadi pagi ia pergi ke kampus untuk mengajar? Oh iya Bapakku ini adalah seorang dosen di salah satu kampus di Jakarta Barat, segara saja aku pamit pada Pak Muklis untuk menemui Bapak yang terlihat kebinggungan itu.