Walaupun sudah diperingatkan, aku ini bukan tipe anak penurut. Meski dilanda ketakutan tapi rasa penasaranku lebih tinggi, jadi aku berusaha mengintip untuk bisa tahu apa yang terjadi di depan sana sehingga Bapak melarangku melihat. Hingga di detik selanjutnya aku sungguh menyesal telah membangkang larangan itu.
Di sana di atas meja yang kuyakini sebagai meja kasir, Kak An terlihat terbaring dengan seragam robek sana-sini, mata kiri lebam dengan kedua pipi memerah seperti habis dipukuli, tangan terikat, rambut kusut serta mata sembab yang basah. Yang membuatku makin terkejut adalah seorang laki-laki yang mengungkungnya, terlihat memegangi kaki Kak An sambil bergerak maju-mundur.
Pikirku, apa yang sebenarnya orang itu lakukan hingga Kak An terlihat terus berontak sambil meneriakkan kata 'tolong, berhenti! Sakit.' dengan suara serak yang mengerikan. Bapak sedang terlibat baku hantam dengan beberapa pemuda dan belum bisa menolong kakak, aku sangat ketakutan.
Apalagi waktu rambut Kak An yang sudah kusut ditarik untuk melihat perkelahian Bapak, yang mana tepat terjadi di depanku. Dengan tubuh yang terhentak-hentak sambil berlinangan air mata, pandangan kami bertemu. Lantas dengan menggerakkan bibirnya, ia berkata tanpa suara 'Diam. Tetap disana!' Badanku langsung kaku, seperti seluruh indraku direnggut begitu saja.
Entah berapa lama waktu berlalu sampai akhirnya dengan badan penuh luka serta lebam di wajah, Bapak memberikan tinjuan terakhir pada lelaki yang sedari tadi mengungkung kakak. Menghajarnya sampai si lelaki terkapar tak berdaya di lantai baru Bapak menghentikan bogeman, dapat kulihat jika ia mengeluarkan air mata saat mendekat ke arah kakak. Begitu sampai, Bapak lantas membuka jaket yang dipakainya untuk diberikan pada Kak An yang masih saja menangis dengan tubuh gemetar ketakutan, meraihnya dalam rengkuhan sebagai dukungan moral sekaligus penenang.
Saat kupikir jika semua sudah selesai, dari arah belakang muncul siluet pemuda yang sangat kukenali. Awalnya kupikir ia akan ikut membantu kami karena setahuku orang itu adalah Kak Jidan, kenapa aku berpendapat demikian? Sebab Kak Jidan adalah kekasihnya Kak An, hanya aku yang tahu tentang hal tersebut. Sebenarnya aku tahu secara tak sengaja saat Kak Jidan mengantar Kak An menuju sekolahku bulan lalu, hingga akhirnya dia mengaku sudah memiliki kekasih setelah kutanyai hampir di setiap kesempatan.
Tapi senyumku langsung luntur saat Kak Jidan terlihat mengeluarkan pisau dari balik jaket yang dikenakannya, berjalan dengan sempoyongan belum lagi matanya juga tampak memerah. Hanya aku yang dapat melihatnya, sebab Bapak dan Kak An sedang berjalan kearahku yang mana ada diarah berlawanan. Aku ingin berteriak dan mengatakan pada mereka bahwa ada bahaya di belakang, tapi sekali lagi semua indraku seperti terkunci, layaknya boneka yang hanya bisa melihat semua kejadian tanpa berkata apapun.
Hanya butuh hitungan detik sampai pisau yang sepertinya terlihat baru tersebut berhasil menikam Bapak, Kak Jidan menikamkan pisau pada punggung kiri hingga tembus sampai dada. Kak An yang berdiri disampingnya berteriak kaget, sedangkan aku menatap semua dengan tatapan kosong.
Kala lelaki yang paling kusayangi sepanjang hidup ini, jatuh tergeletak dengan bersimbah darah. Jangan tanya kemana si sialan itu pergi, sebab begitu melihat targetnya tak meleset ia langsung kabur begitu saja. Yang paling membuatku marah adalah dirinya yang masih bisa tersenyum sesaat setelah menikamkan pisau, brengsek!