Hanya satu kata yang bisa mendefinisikanku saat ini, kacau. Alasannya? Sebab aku baru saja pulang dari acara makrab yang dilaksanakan selama 2 hari 1 malam, bukankah sudah kubilang jika panitia harus hadir. Aku bahkan tak menemukan alasan apapun untuk bisa izin dari acara tersebut, Azkia dan Dinda malah lebih antusias untuk bisa bergabung dalam acaranya, meskipun diakhir mereka tak ikut serta.
Tenagaku terkuras habis sampai ke titik terendah saat ini, padahal aku tak banyak bergerak seperti panitia lain. Eh bukan berarti aku berleha-leha, tentu saja tidak! Bisa diomeli paketu dan bu wakil nanti. Aku punya tugas tersendiri yaitu sebagai seksi dokumentasi, iya sih sama saja aku harus bergerak untuk memotret sana-sini tapi itu menyenangkan.
Aku suka memotret, jika kalian ingat kalau beberapa minggu lalu Ibu menghadiahiku sebuah kamera. Tapi tentu saja euforia tersebut hanya terjadi saat acaranya berlangsung, sebab setelah semua selesai. Otak kita baru merespon jika tubuh kelelahan akibat aktivitas padat yang sudah dilalui.
Aku sekarang melangkah gontai memasuki rumah, setelah sebelumnya keluar dari mobil yang dibawa Zahra. Dia tadi meminta aku, Nina serta Niam untuk pulang bersamanya, ditengah kondisi yang sudah sangat kelelahan, tawaran menggiurkan itu jelas saja langsung kami setujui. Ngomong-ngomong ini Minggu sore, artinya Ibu pasti sedang ada di rumah, eh tapi kenapa suasananya sepi begini ya? Apa Ibu sedang di rumahnya Kak An?
Ya mungkin Ibu ada di sana, baiklah sekarang aku hanya harus istirahat sebentar karena jujur kemarin malam aku tidak bisa tidur. Mungkin karena sedang di lingkungan baru dan belum terbiasa, makanya alih-alih menyambangi mimpi. Aku malah sibuk bermonolog ria di dalam kepalaku, sambil menatapi langit malam dengan taburan gemintang.
Jika tidak ada siapapun di rumah seperti ini, kami terbiasa untuk menguncinya bahkan jika hanya akan ke tempat yang dekat. Ibu sudah membuatku terbiasa dengan hal itu, katanya meskipun di rumah kami tak ada barang yang sangat berharga tetap saja kewaspadaan perlu diterapkan. Belum lagi Ibu ataupun aku memang punya kunci rumah sendiri, jadi tak perlu repot menyimpannya di pot, di keset atau dimanapun itu. Sebab kami sudah membawanya masing-masing.
Saat sampai di kamar aku langsung melemparkan diri ke kasur tercinta yang sudah kutinggal semalaman itu, memang benar obat paling mujarab bagi tubuh yang lelah adalah tidur. Apalagi jika suasananya mendukung begini, hening ditambah hangatnya mentari sore yang menerobos melalui jendela, belum lagi kasur dkk yang menemani. Sungguh ini adalah hal yang sederhana namun sangat membuatku bersyukur, begitu sibuk memikirkan ini itu sampai aku tak sadar jika sudah jatuh terlelap di detik berikutnya.
...
Sayup aku mendengar suara yang tak asing seolah memanggil namaku, guncangan di tangan kanan juga kian keras. Perlahan kesadaranku mulai terkumpul hingga indra pendengaranku menangkap suara khas yang sudah sangat kuhapal selama 6 tahun terakhir ini, tak salah lagi tentu saja itu Azkia Vlandela. Tunggu! Apa aku melewatkan sesuatu? Kenapa Azkia ada di rumahku? Zahra tak salah rumah saat mengantarku tadi, kan?
Aku langsung terduduk sesaat setelah pemikiran itu terlintas dan begitu menoleh ke samping kanan, temanku malah langsung menyambut dengan seringai yang jujur saja itu terkesan menyebalkan saat ini.
"Oho lihatlah putri tidur kita telah bangun, selamat datang di dunia yang penuh kekonyolan ini ya." Itu kata pertama yang Azkia ucapkan.
"Berisik Kia, ini rumahku kan? Kapan kamu datang? Perasaan pas aku pergi buat makrab, ga ada tuh Ibu bilang bakal ngangkut kamu ke rumah." Tanyaku.
"Heh masih ngelindur atau apa sih kamu, jelas ini rumahmu. Ngada-ngada emang ya, aku baru nyampe siang tadi. Abis di rumah juga suntuk, Mami sama Papi pergi kondangan temennya, ngajakin sih tapi males ikut. Ngajak main Dinda eh dia kan ada kelas, mana full lagi. Jadi di sinilah destinasi terakhir yang kupilih." Jawabnya.
"Dikata rumahku wahana atau taman hiburan kali ya, destinasi. Jam berapa ini? Mana Ibu?" Kembali kuajukan tanya.