SEGEL IBLIS

Miss Green Tea
Chapter #5

4. Pekerjaan (1)

Hari yang biasa, aku kembali mencari lowongan pekerjaan di internet. Aku mulai mencari lowongan pekerjaan di seluruh Indonesia. Tapi tiba-tiba, aku teringat akan ucapan kuntilanak Jasmine beberapa tahun yang lalu. Akan banyak darah yang hilang. Darah yang hilang? Apa maksudnya itu? pikirku. Aku melihat sebuah blog yang menceritakan kisah saudaranya yang hilang begitu saja. Ah, aku rasa ini cuman sensasi. Lalu mataku terarah pada lowongan pekerjaan untuk menjadi model di salah satu majalah terkenal di Indonesia. Majalah SQY, waaah gajinya lumayan nih. Namun, butuh pelatihan dulu. Pelatihan, umur aku sudah 25 tahun, pelatihan 2 tahun, terkenalnya pasti butuh 3 tahun lagi. Terpikir di benakku untuk mencoba masuk. Aku langsung mengisi persyaratannya.

“Krutak, krutak.” Aku mendengar suara dari dalam lemariku. Aku menoleh dan melihat tuyul keluar dari dalam lemariku dengan menembus pintunya. Ia tidak sadar jika aku meperhatikan kebahagiaannya yang  sibuk menghitung uang ribuanku. Tuyul ini sepertinya salah rumah. Aku juga baru melihatnya di kampung ini. Beraninya dia mencuri uangku, apa dia tidak tau jika aku ini pengangguran yang butuh dikasihani. Aku berdiri dan berjalan pelan kehadapannya.

“Eiits, kenapa kau hitung-hitung ribuanku haa? Emang kau tau berapa jumlahnya?” Aku menarik uang ribuanku dari tangannya.

“Aaah, Kakak bisa lihat aku.” Dia tampak terkejut.

“Jangankan lihat kau, lihat bapak kau saja aku bisa.”

“Satu lembar dong Kaak.” Tuyul ini merengek iba.

“Satu lembar? Kau tak tau, aku saja sulit untuk dapat uang, kau malah seenaknya mintak. Cari sana woi, rumah orang kaya. Tuh di depan sana di rumah kakek Muslim! Bukan di sini! Sini mah rumah orang makan ikan asin!” Aku membentaknya dengan kasar, itu membuatnya terdiam.

“Halaa, pelit amat. Makanya miskin!” Ejeknya padaku sembari berlari, aku menahannya dengan menarik celananya.

“Apa kau bilang haa? Siapa majikanmu?” Aku mentapnya dengan tatapan ingin membunuh.

“Mmmm.” Tuyul ini menutup mulutnya.

“Kalau kau tutup mulutmu kayak itu, mana aku tau!” Bentakku lagi padanya dengan lebih keras. Tanpa aku sadari, aku melihat banyak uang ratusan ribu yang ia di selipkan di dalam celananya.

“Waaah, uaaang.” Mataku terbius dengan warna merah uang ratusan ribu, dan langsung meraihnya.

“Jangaaan!” Tuyul ini berteriak keras, namun aku sudah berhasil mengambilnya.

“Acem sudah ini uang kau selipkan di sana.” Aku tersenyum sembari menghitung uang ini. Uang ini hampir 1 juta.

“Jangaaaan, aku mohon Kakak. Berikan uang itu padaku.” Rengeknya padaku sembari menghentak-hentakkan kakinya.

“Weee, emang aku ini kakakmu. Manggil-manggil kakak lagi.” Ejekku dengan wajah kesal. Dia menatapku dengan tatapan penuh amarah, seperti ingin menyerangku.

“Plak!” Aku menjitak kepala botaknya.

“Auuuh. Nanti aku bisa kena marah sama Mimi. Huuuuu.” Rengek tangisnya sembari mengeluarkan air mata palsu.

“Mimi? Mimi peri? Eh, tunggu tadi kau belum jawab siapa yang menyuruhmu melakukan inikan? Siapa haa?” Aku merunduk seraya menatap wajah pucatnya. Tuyul ini langsung menutup mulutnya.

“Mmmm mmmm.” Ia kembali menjawab namun dengan menutup mulutnya.

“Ooooh, mau main-main kau sama aku yaaa.” Aku mengeluarkan senjata ampuhku.

“Tidaaak, ampun. Itu, itu, Mimi Lusi. Huaaaa.” Tangisnya, sembari jongkok tak berdaya.

“Lusi, Nantulang Lusikah?” Memang akhir-akhir ini dia baru kembali dari rantau. Dia selalu memamerkan emas di badannya ketika sedang berbicara dengan warga kampung. Aku mulai memikirkan cara untuk membuat si nantulang jera, hehehe.

“Iyaa. Huhuhuhu.” Tangis tuyul ini menggebu-gebu.

“Sudah-sudah jangan nangis. Lebay amat sih kau, dasar makhluk purba tak tau diri. Ini, aku ganti dengan uangku yang lebih banyak. Ingat, ini lebih banyak.” Aku memberikan uang ribuanku yang jumlahnya dua puluh ribu.

“Waah, makasih Kak.”

Ia tampak bersemangat sambil meloncat-loncat. Inilah kelemahan tuyul, dia mengetahui benda yang bernama uang tapi tidak tau berapa jumlahnya.

“Masih panggil Kakak, tak aku jitak pala kau itu nanti.” Ancamku.

“Lalu panggil apa coba?” Ia memegang kepalanya.

“Panggil aku bos.” Aku tersenyum puas sembari mengibas-ngibaskan uang merahku.

“Kalo mau di panggil bos, mimik susu dulu.” Tuyul ini mengeluarkan taringnya yang runcing.

“Hiii, amit-amit. Gila kau yaa, jadi kau di bayar darah oleh si nantulang.” Biasanya tuyul juga bisa di bayar dengan sesajian. Tapi, ternyata juga ada yang di bayar dengan darah.

“Ya iyalah, bayaran setimpal. Dan juga, mimi sayang banget loh sama aku.”

“Ya jelaslah, kalau dia sayang sama anaknya,  nanti kau malah bunuh anaknya.” Mengerikan sekali Nantulang Luci. Tak aku sangka, dia menyusui tuyul biadap ini.

“ Iya bos, waktu itu aku sudah bunuh satu orang.”

Lihat selengkapnya