Hari itu, aku sampai di Jakarta. Waah, ternyata seperti ini di kota besar. Macet berkepanjangan membuatku memperhatikan semuanya. Hidup yang keras. Aku bahkan melihat banyak anak-anak yang mengemis. Hal yang selalu aku pikirkan adalah, jika Jakarta adalah tempat paling menyenangkan untuk menjadi orang kaya. Tapi ketika melihat itu semua, rasanya aku ingin kembali ke Medan. Heey, apa hanya sampai di sini kemauanku? Tidak, aku harus bisa sukses, itulah targetku.
Televisi yang besar di pampang di tengah jalan ini lumayan membantu di tengah kemacetan. Di televisi tersebut di siarkan bagaimana perpolitikan Indonesia. Ada satu yang menarik di mataku, seorang wanita yang duduk di sebuah ruang rapat penting. Dia memilki mata tajam, pakaian serba merah elegan. Ketika aku memperhatikannya, dia seolah-olah menangkap tatapanku dan tersenyum sinis. Itu sedikit membuat darahku berdesir. Padahal nyatanya, wanita itu melihat ke kamera. Panas tak karuan pun aku rasakan.
“Kau kayak ngak pernah lihat TV aja Sur.” Aku menoleh pada Kak Jessi yang fokus pada jalanan yang macet.
“Ngak Bang, eh Kak. Coba deh lihat, wanita itu cantik yaa.” Aku menunjuk kearah siaran langsung tersebu, wanita itu menghilang, padahal tadi ada di antara bapak-bapak tersebut.
“Wanita mana? Ngak ada, cuman bapak-bapak.” Kak Jessi memanyunkan bibirnya.
“Ah, tadi ada di antara bapak-bapak itu loh.” Aku mengeluarkan kepalaku dari jendela mobil.
“Mungkin dia ke toilet kali.” Kak Jessi sembari bajuku, sehingga aku kembali masuk ke dalam mobil.
“Masa, sedang rapat dan lagi live, bisa permisi ke toilet.” Umpatku pada Kak Jessi dengan wajah jengkel.
“Ceilahh, kau itu yaa, kayak ngak tau bagaimana politik Indonesia saja.”
Dan akhirnya, sampailah aku di tempat audisi. Kak Jessi hanya mengantarkanku sampai di depan saja. Awalnya dia sempat mematahkan semangatku. Dia mengatakan jika aku jauh dari standar model. Padahal, aku sangat lebih dari standar model. Aku memiliki tinggi 173 cm. badan yang langsing dan kulit eksotis. Wajahku tirus, mataku besar, dan juga aku termaksud kategori cantik.
Aku memasuki lobi dan memberikan berkas audisi. Mereka mengarahkanku pada sebuah ruangan di lantai 3. Seketika aku mulai melangkah ke sana. Ketika aku menaiki lift seorang wanita ikut naik bersamaku, ia langsung berdiri ke belakangku. Lift berhenti, kami berdua masuk.
“Mau ke lantai berapa Kak?”
“3.” Aku menoleh padanya, dan melihat senyum sinisnya. Aku langsung memalingkan wajahku dari dia yang berdiri di sampingku.
Sontak aku berpikir senyum sinisnya padaku pernah aku lihat, tapi entah dimana. Aku merasa jika dia memperhatikanku. Tesirat di hidungku aroma darah kental yang sangat anyir. Aku mulai mencari dimana sumbernya.
“Drrt,drrt.” Lampu lift berkedip 2 kali.
“Deg, deg, deg.” Jantungku berdegup dengan sangat cepat. Aku menoleh ke samping. Wanita yang bersamaku tadi telah menghilang.
“A-a-apa ini?” Aku mundur satu langkah. Sejenak aku terdiam, dan merasa merinding. Lututku tiba-tiba gemetar. Apa yang tadi itu hantu kota? Pikirku. Lift pun berhenti di lantai 3. Aku bergegas keluar dan mulai memandangi setiap sudut lift tersebut.
“Kemana dia? Ba-bagaimna bisa?” Aku kembali mencium bau darah anyir. Baru kali ini, aku merasa setakut ini. Tanganku gemetar, kakiku tak mampu melangkah.
“Hmmhaaah.” Aku menghela nafas panjang untuk menghilangkan rasa takutku.
“Hai dek, apa kamu baik-baik saja?” Seseorang pria tua bertanya padaku.
“Ya, aku baik-baik saja Pak.” Pria tua itu pergi meninggalkanku, dan aku bergegas berjalan menuju ruangan yang di tuju tadi.
Aku mulai memasuki ruangan. Ternyata, yang ikut lumayan banyak. Aku mulai mencari tempat duduk untuk menunggu.
“Surti Salsabila!” Panggil seorang gadis cantik.
“Ya.” Aku mengangkat tangan kananku.
“Silakan masuk.” Aku di panggil ke sebuah ruangan lainnya. Ternyata ini adalah tes wawancara. Di ruangan yang lumayan kecil ini, seorang pria gendut, sempal dan tidak enak di pandang mata mulai mewawancaraiku.
“Kamu, Surti Salsabila? Silakan duduk.”
“Iya Pak.”
“Mmm, kau dari Medan.”
“Iya Pak.”