Aku masuk ke dalam kamar Kak Jessi. Kamar yang lumayan bersih dengan peralatan serba berwarna pink.
“Feminim sekali.” Kak Jessi langsung melangkah menuju kulkasnya.
“Memang seharusnya begitukan. Oh ya, untuk saat ini kau tinggal di sini dulu. Walaupun kau sudah punya kontrak dengan uang yang besar, aku tetap tidak akan pernah melepaskanmu. Itu adalah janjiku pada Umakmu.” Kak Jessi memberikanku segelas jus.
“Ya, baiklah. Aku mau mandi dulu.” Aku mengambil jus tersebut, lalu meletakkannya di atas meja. Aku membuka koperku dan mengambil peralatan mandi. Aku melangkah ke dalam kamar mandi, dan menutup rapat pintunya.
“Haaaaaaah, kenapa aku tiba-tiba memikirkan siluman tadi?”
“Shyut.” Bayangan hitam melintas di belakangku. Aku menoleh dengan cepat.
“Duarrrk.” Tanpa sengaja tangan kananku menjatuhkan ember berisi perlengkapan mandi.
“Surti? Apa kau baik-baik saja?” Tanya Kak Jessi dari luar.
“Ya, aku baik-baik saja.” Aku mengemasi perlengkapan mandi tersebut, lalu menghidupkan kran air
Aku sudah biasa mengalami hal ini, tapi aura kali ini sedikit berbeda.
“Khuaaaarrrrrrkkk.”Tiba-tiba sosok mengerikan muncul dihadapanku. Sebagian tubuhnya hancur, terutama di bagian tangan kirinya yang nyaris putus. Tengkorak kepalanya tampak terbelah, membuat yang melihatnya pilu. Aku sedikit terkejut dengan aksinya.
“Hello, dengan siapa ini?” Tanyaku dengan wajah datar.
“Khuaaaarrrkkkk!” Jawabnya dengan berusaha menakut-nakutiku.
“Aku tidak takut, ada yang lebih menakutkan darimu.” Aku mengambil sebuah sikat gigi lalu mengoles odol dan mulai menyikat gigiku. Melihat responku yang tidak peduli dengannya, itu membuatnya sedikit kesal. Dia mulai berdiri di depanku dan kembali berusaha menakut-nakutiku.
“Sudahlah, simpan energimu untuk yang lain. Aku sudah lelah dengan hari ini. Jangan ganggu aku.”
“Aku tidak mengganggumu, aku hanya ingin menyapamu.”Suaranya tidak begitu mengerikan.
“Sudah berapa lama kau dengan wujud ini? Nafasmu itu sangat bau, mau menggosok gigi dulu.” Bisikku dengan pelan padanya.
“Kau tidak perlu tau, bodoh.” Balasnya lalu menghilang. Aku kumur-kumur dan mandi. Ketika aku keluar dari kamar mandi, lagi dan lagi sosok kuntilanak menyapaku dengan sangat ramah.
“Kau pasti bisa melihatku. Hihihihi.” Wujudnya kuntilanak tapi suaranya sangat rupawan.
“Apa mungkin?” Aku menatapnya dengan tatapan tajam. Aku yakin jika dia sosok kuntilanak bencong.
“Langit tidak bisa menerimaku, apalagi bumi.” Dia tiba-tiba berubah menjadi sedih.
“Kau pikir aku peduli. Menyingkirlah.” Aku melewatinya.
“Truaak.”Gelas di sampingku jatuh ke lantai.
“Surti, apa kau baik-baik saja?” Tanya Kak Jessi yang tadinya asyik di depan televisi, lalu langsung berlari kearahku. Tampak senyum sinis di wajah sang kuntilanak bencong.
“Aku baik-baik saja, biar aku bersihkan kak.” Aku meraih sapu di sudut dapur.
“Tidak usah, beristirahatlah. Kau tampak sangat lelah.” Kak Jessi mengambil sapu tersebut, dan mulai membersihkan beling kaca sambil bernyanyi riang. Sementara kuntilanak tersebut tetap mengikutiku.
“Apa yang kau inginkan? Kau tampak tak baik dengan senyummu barusan. Pergilah selagi aku masih berbaik hati.”
“Apa dia tau jika kau bisa melihatku?” Tanyanya dengan melirik Kak Jessi.
“Menurutmu” Aku berbaring dan memejamkan mata.
**
Keesokan paginya, aku terbangun dan langsung menunaikan shalat subuh. Setelah itu, aku duduk di depan televisi sembari menikmati sarapan yang sudah disiapkan Kak Jessi.