Aku ikut hadir dalam pemakaman Mama Paris. Aku melihat Paris tak kuasa menahan air matanya. Sementara iblis mengerikan itu, hanya mengawasi dari bawah pohon di sudut pemakaman. Aku merasa sangat bersalah pada Paris. Aku ingin menceritakan kejadian yang sebenarnya, tapi jika aku menceritakannya, mungkin Paris akan membenciku. Bukan hanya itu yang aku takutkan. Yang aku takutkan, bisa saja Paris adalah target iblis itu selanjutnya. Sekarang, aku harus bagaimana? Jika aku menjauh darinya, itu akan berbahaya baginya. Tapi, jika aku tidak menjauh, itu akan jauh berbahaya bagi keselamatanku.
Hari demi hari, sejak kejadian itu aku tidak bisa menahan diriku. Makhluk astral semakin sering mengganguku sehingga membuatku harus mengusirnya dengan lebih keras. Aku kerap berbicara dengan mereka. Dan tanpa aku sadari orang di sekelilingku juga sudah mulai menganggap aku gila. Mereka bahkan menyarankanku untuk pergi ke psikiater. Apa lagi iblis bodoh itu semakin sering menerorku. Hari ini, aku dengan sangat terpaksa memenuhi permintaan mereka untuk pergi mengobati jiwa depresiku ini ke rumah sakit. Kalian tau, rumah sakit adalah tempat yang sangat aku benci. Aku benci berinteraksi dengan mereka. “Tolong akuuu, tolong akuuu.” Itu adalah kata yang memuakkan di telingaku. Ketika aku melangkah masuk ke dalam rumah sakit, satu hal yang aku lihat. Banyaknya orang yang hidup di sini hampir seimbang dengan arwah atau jin yang berlalu lalang tanpa henti menyesuaikan profesinya. Ada yang berprofesi sebagai dokter, perawat, pasien dengan tanpa organ, anak-anak dengan tanpa kepala. Hiii, ini membuatku ingin berbalik arah. Namun, pandanganku terhenti pada seorang wanita yang menatapku dari kejauhan. Dia mirip denganku, namun lebih pendek. Aku mendekatinya, apa mungkin dia Kak Sinta? Oh iya, sejak dia meninggal aku tidak pernah bertemu dengan sosoknya. Kalau Bapak masih datang ke rumah. Tapi Kak Sinta tidak pernah sekalipun. Apa yang sedang dia lakukan di sini?
“Kak Sinta.” Aku mengejarnya yang berlari ke lantai 2.
“Hihihi” Tawanya berlari-lari kecil seperti memainkan permainan. Dia berlari kearah ruang isolasi. Aku pun masuk ke dalam sana. Namun, seorang perawat menghentikan langkahku. Dia mengatakan jika ruangan ini hanya di khususkan untuk dokter, dan menyuruhku keluar. Benar-benar perawat ini, dia mengusirku di saat aku ingin mengetahui apakah itu Kak Sinta atau bukan. Tunggu, jangan-jangan jasad Kak Sinta ada di ruangan ini? Aku kembali berusaha masuk. Dan akhirnya, aku di usir oleh satpam.
Karena sudah amat lelah, aku memilih untuk pulang dan kembali besok. Sesampai di rumah, hantu kampung kembali mengangguku.
“ Surtiii. Surtiii.” Aku sudah terbiasa dengan ini, dia bersembunyi dimanapun yang dia suka.
“Dasar hantu kampung. Pulang sana ke asalmu! Jangan ganggu aku!” Aku berteriak sekeras-kerasnya.
“Itu bukan akuuuu. Huhuhuhuhuhu.” Kuntilanak di sudut kamarku sambil menangis dan pindah tempat karena hinaanku.
“Oh, bukan kamu. Hehe maaf-maaf.”
“Dia di jendela.” Tunjuk Kuntilanak itu. Apa itu si iblis bodoh?Tidak ada bosannya. Aku melangkah kearah Jendela.
“Ada apa? Ngapain kau ke sini ha! Aku bukan budakmu! Tidak ada darah segar disini!”
“Aku hanya mengunjungimu sembari memperingatkan yang ada di sekitarmu.” Iblis itu menghilang. Memperingatkan? Apa maksudnya itu? Apa dia akan membunuh teman-temanku? Aku langsung menghubungi mereka semua. Ternyata mereka baik-baik saja. Aku ingat, korban yang mati dan yang bisa di bunuhnya hanya orang yang di berikan dan di tunjuk oleh budak-budaknya. Ah, itu bukan urusanku. Aku tidak peduli dengan itu.
**
Hari ini, aku kembali ke rumah sakit. Karena sangkin ingin taunya tentang Kak Sinta, aku bahkan bertanya pada setiap hantu di sana. Melihat tingkah lakuku yang menjadi-jadi, Kak Jessi berinisiatif untuk mengantarkanku kembali ke medan. Tentu saja aku memberontak. Aku ingin tau, apa Kak Sinta ada di dalam sana atau tidak. Karena mereka sudah menganggap aku gila, mereka memberikan aku obat penenang. Sehingga keesokan paginya, aku sudah tidur di kamar rumahku yang berada di Medan. Umakku menangis histeris. Karena melihatnya seperti itu, aku mulai berusaha mengontrol diriku.
Sudah 3 hari aku di Medan. Pikiranku masih pada Kak Sinta. Apa dia masih hidup? Aku harus temukan cara untuk kembali ke Jakarta, apapun caranya. Pertama-tama aku harus menghirup udara segar dulu. Aku melangkah keluar rumah, sambil sedikit peregangan. Aku melihat ibuk-ibuk lewat di depan rumahku sambil bisik-bisik. Namun, aku tidak mengacuhkannya. Tebesit di benakku untuk menemui Kuntilanak Jasmine yang fenomenal di kampung ini. Aku pun mulai melangkah ke pohon dimana tempat biasa dia berbuat usil pada warga kampung. Setelah aku sampai, aku melihatnya sedang sibuk menyanyi-nyanyi tak jelas.
“Ehmehm.” Aku memberi kode jika aku ingin berbicara dengannya.
“Surti, si model. Hihihihi.” Dia melirikku dengan mata merahnya itu.
“Hey kuntilanak Jasmine, masih siang sudah ganggu warga. Dasar hantu kampung kurang kerjaan.” Cemoohan hambar untuk memancingnya berbicara.
“Apa yang membuatmu datang ke sini Surti? Aku tidak menganggu mereka, aku hanya duduk santai di sini. Kau ini selalu menghinaku dengan nama hantu kampung. Apa kau pernah melihat hantu kota? Asal kau tau, aku lebih dari sekedar hantu. Aku sekarang sudah menjadi biduan kunti.” Dia mengibas-ngibaskan rambut panjangnya. Sehingga muka hancur itu terpampang jelas. Aku sedikit tercengang melihat aksi centil menjijikkannya itu. Aku melihat dada kirinya bolong. Apa mungkin Jasmine juga korban iblis itu?
“ Ada yang ingin aku tanyakan padamu wahai kuntilanak Jasmine.”
“ Apa itu?” Dia melayang turun kearahku.
“Apa kau juga dibunuh oleh iblis itu?” Kuntilanak Jasmine memalingkan wajahnya.
“Aah, sudahlah, jangan dijawab, aku sudah tau.” Aku melirik dada kirinya yang bolong.
“Apa kau sudah bertemu dengannya?”