Pencarianku membuahkan hasil. Dimana, aku menemukan mantan pacar Kak Sinta. Namanya, Kris. Kami berjanji di sebuah jembatan di sudut kota.
“Surti.” Sapanya padaku. Aku membuka kaca mata hitamku.
“Waah, aku tidak menyangka jika kau sudah besar. kau jauh lebih cantik dari pada Sinta.” Kris mendekat kearahku. Seingatku dulu tubuhnya kurus seperti Rian, tapi sekarang sudah melar, dan bahkan sudah obesitas tingkat akhir. Dia mengatakan bahwa tak ada harta apapun yang di tinggalkan Kak Sinta untukku. Padahal aku tidak ingin menanyakan perihal itu. Dia hanya memberikan sertifikat sebuah rumah beserta kuncinya. Aku langsung menerimanya dan dia pergi meninggalkanku. Dia mengatakan untuk jangan pernah mencari atau menghubunginya lagi.
Aku mulai berjalan kearah mobilku dan meluncur ke alamat yang ada di dalam sertifikat tanah. Setelah bersusah payah mencari, akhirnya aku menemukan rumah tersebut. Rumah ini seperti villa pada umumnya namun berada di puncak sebuah bukit yang sangat tinggi dan curam. Rumah ini sangat mewah, dan nyaris hanya ada satu rumah ini di atas bukit yang tinggi ini. Pemandangan seluruh kota terlihat begitu jelas dari sini. Ini adalah istana tanpa berpenghuni. Rerumputan liar sudah mulai menjalar ke depan pintu. Jalan aspal sudah di penuhi dedaunan kering. Dinding rumah sudah di tempeli oleh lumut hingga, warna merah cat sudah berubah menjadi kehijauan. Pot-pot dengan bunga yang dulu mungkin sangat indah sekarang berbentuk seperti tumpukan kuburan. Apa mungkin dulu ini rumah Kak Sinta? Jika ini bersih pasti amat menyenangkan tinggal disini. Aku mencoba membuka pintu rumah. Ketika aku membuka pintu, bau anyir akan darah mulai menggoda hidungku.
“Waah.”Aku terkejut melihat susunan peralatan dan pernak pernik isi rumah ini sama persis seperti kerajaan yang ada di film-film china. Aku melangkah perlahan, sembari mengawasi sekeliling rumah.
“Prak.” Tiba-tiba pintu tertutup dan terhempas dengan keras. Itu membuat jantungku ini ingin copot.
“Apa tadi itu angin? Wah nakal sekali.” Aku melihat sebuah kalung di bawah meja yang berada di tepi ruang tamu. Aku berjalan ke meja tersebut lalu bertekuk dan meraihnya. Kalung ini memiliki permata merah sebagai hiasannya. Tanpa pikir panjang aku langsung memasukkannya ke dalam kantongku.
“Hahahahah.” Tawa seorang anak kecil mengejutkanku lagi.
“ Jangan ganggu aku!” Teriakku padanya.
“Shut.” Dia melesat dibelakangku. Aku berbalik.
“Hihihihihi.” Tawanya lagi.
“Tunjukkan dirimu!”
“Kak Sinta? Apa itu kau? Kau sudah pulang. Yee.” Tiba-tiba anak kecil itu muncul seraya memegang tanganku. Wajahnya pucat, rambutnya panjang, dan menggunakan gaun putih. Sepertinya aku sering melihatnya tapi entah dimana.
“Aku bukan Sinta, jangan ganggu aku.” Aku melangkah dengan melepas tangannya dari tanganku.
“Apa kau Surti? Kau sudah besar yaa, sedangkan aku masih tetap seperti ini.” Aku menoleh, aku melihatnya meremas-remas tangannya dengan ekspresi sedih.
“ Apa kau mengenaliku?” Aku berbalik kearahnya.
“ Tentu, kita kan sama besar. Kau sudah lupa denganku yaa.” Raut wajah sedih yang aku benci, siapa anak kecil ini?
“Hehehe, sebutkan dengan cepat siapa namamu. Atau aku akan menggantungmu.” Ancamku.
“Kamu tidak berubah Surti, kamu selalu mengancam. Aku suka caramu itu. Ini aku, Angel.”
“Deg, deg, deg.” Jantungku berdegup kencang ketika mendengar ucapannya. Ia menunduk sedih tak mampu menatap wajahku. Aku melangkah pelan kearahnya, dan bersimpuh tak berdaya.
“Angel? Apa yang terjadi denganmu? Aku dan Umak sudah mencarimu kemana-mana. Apa iblis itu juga membunuhmu?” Aku meresapi wajah pucatnya. Air mataku mengalir membasahi pipiku.
“Iya, Tante itu bilang jika aku tidak menolongnya dia akan minta tolong padamu. Aku tidak mau kamu menjadi sakit sepertiku Surti.”
“ Huaaaaa. Angel, tidak mungkiiiin!!! Bukankah kau di adopsi oleh seorang bule?” Tangis histerisku.
“Tante itu membatalkannya dan mengeluarkan jantungku Surti.” Angel ikut duduk bersimpuh di depanku. Angel adalah anak yang diangkat oleh Bapakku sewaktu bapakku bertugas di Kalimantan. Kami tumbuh dan besar bersama. Wajahnya seperti bule, dan membuatku iri padanya. Dia juga amat pintar. Kalian tau, tak ada perbedaan kasih sayang yang kami terima dari Umak, Bapak, ataupun Kak Sinta. Kami mendapatkannya sama. Aku menangis sejadi-jadinya. Adikku Angel, bagaimana mungkin. Ini amat sangat menyakitkan untuk diriku.
“ Angeeellll…, Kenapa? Kenapa semua ini terjadi padamu? Benar, semua ini salahku angel, maafkan aku. Jika saja waktu itu aku memaksamu untuk pulang bersamaku, mungkin iblis itu tidak akan membunuhmu. Angeelll, aku tidak terima kau menjadi seperti ini. Anggeeelll.” Aku menangis dengan menghentak-hentakkan kakiku, seperti menyumpahi takdir yang sudah diterima oleh Angel.
“Tidak Surti, kau tidak boleh mengatakan hal itu. Bagaimana kabar Umak sekarang? Aku sangat merindukannya.” Ucapan Angel membuatku ingat akan keabadian yang ditawarkan oleh iblis itu.