Setelah darahku di masukkan ke dalam tubuh Kak Sinta, kami mulai menunggu reaksinya. Benar saja, dia mulai menggerakkan tangannya dan langsung duduk dengan cepat.
“Dimana aku? Aah pinggangku, aah semuanya terasa kaku.” Dia mengelus-elus badannya membuat kami terkejut.
“Kau sudah sadar Sinta? Syukurlah.” Bang Danu langsung memeluknya.
“Menepilah, sebentar lagi iblis itu akan datang kesini.” Ekspresinya berubah menjadi dingin. Bang Danu langsung keluar kamar karena takut. Sementara kami menunggu di sudut dekat ranjangnya. Sudah satu jam kami menunggu, iblis itu tidak muncul juga dan Kak Sinta berusaha menahan nafasnya untuk bunuh diri.
“Apa kau sudah gila?” Aku mendekat padanya.
“Plak!” Aku langsung menamparnya.
“Siapa kau? Lancang sekali. Kau itu cuma perawat disini.” Teriak Kak Sinta membentakku dengan begitu kasar.
“Kalau saja aku tau dia akan seperti ini. Lebih baik, suntik mati saja dia. Sehingga dia merasakan kesakitan atas ulahnya, lalu membusuk di neraka.”
“Apa maksudmu? Kamu tidak boleh berbicara seperti itu.” Paris berusaha menenangkanku.
“Atau, kita buat dia tidur selamanya. Lagian iblis itu tidak akan membunuh kita. Dan kita biarkan iblis itu abadi dengannya.”
“Hey apa yang kamu pikirkan? Sadarlah!” Paris berteriak padaku.
“Tidur selamanya? Sudah berapa lama aku tertidur?” Liriknya dengan wajah dingin padaku.
“Kau tidak tau? Sudah 100 tahun!”Teriakku emosi padanya.
“Oh benarkah? Baguslah itu.” Kak Sinta tampak tak peduli, dan kembali menahan nafasnya.
“Awalnya aku mengira kau bisa membantu, tetapi tidak. Kau tetap berusaha menahan nafasmu. Mati saja, matiii!” Aku yang sudah tidak tahan lagi langsung menjambak rambutnya habis-habisan.
“Aaaaa mati kau, matiii!”
“Benar! Kematian yang saat ini aku inginkan! Bunuh aku! Bunuh!” Kak Sinta pasrah tanpa perlawanan.
“ Hentikan! Apa yang kalian lakukan! kalian benar-benar sama. Kepribadiannya pun sama.” Paris berusaha melerai kami berdua.
“Jangan samakan aku dengan si bodoh ini.” Teriakku pada Paris dengan masih menjambak rambut Kak Sinta .
“Si bodoh katamu? Beraninya kau!” Kak Sinta melepas infus di tangannya dengan geram sembari menyerangku.
“Iya, kau bahkan tidak mengenaliku. Kau sangat bodoh. Bahkan karena ulah bodohmu aku kehilangan Bapak dan Adikku!” Aku berteriak dengan berusaha menghindari serangannya. Paris terdiam ketika mendengar ucapanku dan merasa dia tidak perlu ikut campur.
“Siapa kau? Siapa bapak dan adikmu ha? Berani-beraninya kau menuduhku! Dia menjambak rambutku dengan penuh emosi.
“Segitu banyakkah Bapak dan Adik orang lain yang kau bunuh, sampai kau tidak sadar telah membunuh Bapak dan Adikku Angel! Adikku yang aku tangisi ketika mulutmu mengatakan dia di adopsi oleh seorang bule baik hati! Bertahun-tahun aku mencari keberadaanya. Dan apa yang aku temui? Adikku telah di bunuh oleh iblis yang telah kau bangkitkan! Lalu kematian Bapakku yang aku diamkan karena janji bodoh yang kau paksakan padaku. Kau pembunuh Sinta! Kau sangat jahat, padaku.” Aku menghempaskan tangannya yang mulai melemah menjambak rambutku ketika aku mengatakan perihal Angel dan Bapak.
“Apa katamu? Angel? Tidak, dia juga meminum penawarnya. Ba-ba-ba-pak.” Aku melihat raut wajah ketakutan yang aku lihat 15 tahun yang lalu. Tangan dan lutut gemetar, bibir seperti mengigil kedinginan.
“Dia memuntahkannya! Itu karena kau Sinta! Kau Iblis itu Sinta!! Kembalikan adik dan Bapakku!!!” Tangsiku menunjuk padanya untuk membuatnya tersudut. Namun, rasanya badan ini sangat lelah kembali menerima kenyataan jika Angel dan Bapak sudah tiada sehingga aku tersimpuh tak berdaya. Kembali masa kecilku bersama Angel terputar di benakku. Kembali aku mengingat masa-masa bahagia itu.