Kami keluar dari Rimbo Panti dengan aman. Azan subuh mulai berkumandang. Aku melirik Harimau yang dari awal telah menjaga kami dengan baik.
“Terima kasih banyak, kami pergi dulu. Assalamualaikum.”Aku menunduk hormat, diikuti oleh Paris, Kak Sinta dan Albert.
“Waalaikumsalam.” Jawab Harimau itu, lalu masuk kembali ke dalam hutan.
“Ada 4 benda lagi. Selanjutnya apa?” Tanyaku pada Albert yang rupanya memandangku dengan tatapan kagum.
“Ehm.” Ia bedehem karena aku menyadari tatapannya.
“Selanjutnya, cahaya biru milik penguasa pulau gaib.” Albert berusaha fokus.
“Pulau gaib? Pulau apa itu? Dan bagaimana kita bisa ke sana?” Tanya Kak Sinta dengan melirikku.
“Aku pernah mendengarnya dari Kakekku, jika pulau itu ada di salah satu Pulau seribu. Oleh sebab itu, terlebih dahulu kita harus ke Pulau seribu.” Jawab Albert.
“Baiklah, untuk saat ini sebaiknya kita shalat dulu.” Ajakku dengan berjalan ke sbuah mushala di tepi jalan. Setelah selesai menunaikan shalat Subuh, kami kembali meluncur ke Padang. Kami secara bergantian menyetir, karena itulah cara untuk beristirahat.
“Sinta, ada yang ingin aku tanyakan padamu.”Albert tampak penasaran pada Kak Sinta.
“Apa?”
“Kau di sini, bagaimana bisa Iblis itu tidak bersamamu?” Tanyanya dengan melirik sekeliling mobil.
“Ah itu, kalung ini membuatku tidak terlihat olehnya.” Jawab Kak Sinta dengan mengeluarkan sebuah kalung batu dari bajunya.
“Oh iya aku lupa, jika nanti Iblis itu sadar jika kita melepaskan Albert bagaimana? Bisa-bisa dia menggagalkan rencana kita.”
“Tidak usah takut Surti, aku meninggalkan pakaianku di sana dengan sebuah patung kayu. Kekuatan segel itu masih ada, dan dia masih merasakannya.” Albert tersenyum padaku. Astaga, dia benar-benar tampan. Dia mampu memalingkan mentari pagiku. Tanpa aku sadari, aku melirik bahu Kak sinta.
“Kak Sinta, tanda apa ini?” Tanyaku padanya yang sedang fokus menyetir.
“Aaah, tanda ini dimiliki oleh semua budak iblis itu. Tapi tanda yang ada pada tubuhku jauh lebih jelas dengan ukiran yang sedikit berbeda. Katanya, ada 4 jenis tanda yang ia tinggalkan pada budaknya. Tanda yang jika dilihat secara sekilas sama, tapi itu berbeda. Ada tanda yang berbentu huruf L tegak bersambung dengan liukan yang lebih condong, miring, bahkan lebih mewah. Dan pembagiannya seperti untuk budak penyedia jantung, penyedia anak-anak, penyedia gadis perawan, dan penyedia anak indigo.”Kak Sinta membuatku kembali mengingat jika aku pernah melihat tanda huruf L tegak bersambung ini, tapi entah dimana.
“Apa kamu melihat tanda itu pada tubuh Mamaku?” Tanya Paris yang tampak menangkap pikiranku.
“Bukan, tapi di tubuh Rian. Tanda tersebut terbuat dari darah.” Jawabku membuat Paris menatapku dengan wajah tidak percaya.
“Apa? itu tidak mungkin. Bagaimana mungkin?” Tanya Paris yang tampak syok.
“Kenapa kau begitu terkejut? Apa kau menyukainya?” Tanyaku dengan wajah datar.
“Seperti apa tandanya? Setahuku jika tanda yang ada pada tubuhku hanya ada satu di dunia ini, yaitu ini.” Kak Sinta mengusap tanda iblis tersebut.
“Hanya seperti huruf L tegak bersambung biasa, namun ada sedikit 2 garis sejajar di bawahnya.” Secara tiba-tiba, Kak Sinta langsung memberhentikan mobil.
“Dia mengumpulkan anak-anak indigo.” Anak indigo? Itu membuatku terdiam. Kak Sinta kembali menjalankan mobilnya.
“Itu tidak mungkin, Rian tidak mungkin seperti itu.” Paris mengeluarkan tatapan tidak percaya. Aku meliriknya dan menangkap maksud ucapannya.
“Paris, aku mencium ada aroma cinta di sini.” Aku melirik Paris dengan lirikan manja.
“Ya memang benar, dia adalah cinta pertamaku. Kami berpacaran di kelas 1 SMP sampai aku lulus kuliah. Aku yakin, dia bukan orang yang kamu maksud Surti.” Paris mengencamku dengan wajah serius.
“Dia juga mengatakan supaya aku selalu berada disisinya sampai aku mati. Dia tampak sangat menyukaiku.” Aku dengan tersenyum manis.
“Bukan dia yang mengatakan itu, pasti Iblis itu.” Sahut Albert dengan mengaruk-garuk telinganya. Aku melirik Albert yang ada di samping Kak Sinta.
“Iya, kau pasti berbohong. Bagaimana mungkin Rianku seperti itu.”Paris tampak sangat kesal.
“Sepertinya Rian mencium aroma keindigoanmu Surti, makanya dia menggodamu.” Kak Sinta ikut menyudutkanku.
“Lupakan, lagian aku juga tidak menyukainya. Dia jauh labih muda dariku.” Aku tersenyum hambar dan memalingkan wajahku.
“Heeih Surti, jika itu benar, apa itu akan berbahaya bagi Rian?” Tanya Paris padaku, aku menoleh padanya.
“Entahlah, kita belum mengetahui sudah berapa banyak dia memberi korban pada Iblis itu.” Aku bersandar lalu memejamkan mataku.
Kami mendapat penerbangan pukul 11 Pagi. Kami langsung terbang kembali ke Jakarta. Ketika kami sampai di Jakarta, Albert menghentikan langkah kami dengan memegan tanganku.
“Kami akan lewat sini, kau lewat sana.” Albert memutar jalannya.
“Memangnya ada apa?”Albert, Paris, dan Kak Sinta meninggalkanku.