Jam menunjukkan pukul 12 malam. Kami pun bergegas ke lokasi. Sesampai kami di lantai dasar candi, kami melihat Iblis itu sudah duduk di atas atap candi. Dia duduk di bawah sinar bulan purnama sembari menjuntaikan kaki aslinya yang sangat mengerikan.
“Tunggu, Lihat di atas sana!” Bisik Paris menghentikan langkah kami dan melihat keatap candi.
“Apa yang sedang dilakukannya di atas sana? Apa dia tau bahwa kita akan menyegelnya?” Tanyaku dengan wajah heran.
“Tentu saja dia tau. Dia pasti merasakannya, terlebih perhiasannya sudah kau curi.” Kak Sinta menatap penuh pada Iblis itu. Aku melihat rasa takutnya kembali muncul.
“Suara nyanyian apa itu? Seperti nyanyi glommy Sunday. Itu membuat tubuhku lemah dan berasa ingin mati. Apa kalian juga merasakannya?” Tanyaku sembari mendengar nyanyian kematian.
“ Waah, aku rasa iblis itu yang menyanyikannya. Apa ini tandanya kita harus mundur?” Tanya Jupri dengan cemas.
“Bagaimana mungkin kita mundur? Kita akan menunggu di sini, dan Sinta yang akan ke sana. Sekarang waktunya Sinta, pakai jubahmu.”Mawar dengan memberikan Kak Sinta jubah hitam Iblis.
“Dan benda ini.” Mawar memberikan sebuah pencukur rambut elekronik, dan sebuah benda capit seperti Tang.
“Untuk apa semua benda itu?” Tanyaku.
“Kau akan melihtanya nanti.” Jawab Albert dengan menyentuh bahuku.
“Sekarang giliran anda Putri Mahkota, sudah saatnya benda tersebut anda keluarkan dari dalam tubuh anda.” Aku langsung meraih bahu Kak Sinta, dan memejamkan mataku. Semua benda ritual berpindah ke pangkuannya.
“Aku sudah mengatakan bagaimana caranya. Sekarang lakukanlah Sinta, bayarlah dosamu.” Mawar menunduk hormat.
“Kau tidak akan mati. Aku pastikan itu.” Albert membuatku curiga.
“Apa ada sesuatu yang sedang kalian tutuppi dariku?” Aku melirik Albert dan Mawar.
“Dosa, tetaplah dosa.” Bisik Mawar dengan kejam padaku. Aku menatap Kak Sinta yang tampak sangat ketakutan. Aku memegang bahunya, sebuah cahaya biru mengalir dari tubuhku ke dalam tubuhnya. Aku tersenyum, perlahan rasa takutnya mulai menghilang.
“Dengan kalung itu, kau akan aman. Kau bisa berjalan dengan santai sampai ke atas atap candi.” Kak Sinta menatapku dengan sepenuh hati, lalu berbalik badan dan mulai berjalan secara perlahan naik ke atas atap candi.
“Surti. Hihihihi” Iblis itu tiba-tiba datang dan melayang kearahku. Dengan sigap, Albert, Paris, Jupri, dan Mawar bersembunyi di balik candi. Aku sedikit terkejut ketika melihatnya. Tapi aku, harus tetap berusaha santai menghadapinya, supaya ia tidak curiga denganku.
“Kau lagi. Hiiii. Apa yang terjadi dengan wajah cantikmu. Apa itu wujud dari sebuah pelapukan?” Iblis itu mendekatkan wajahnya pada wajahku.
“Aku tau kau yang membawa cat kukuku. Dimana kau letakkan Hawa. Kau sangat licik. Apa kau pikir kau bisa menghabisiku? Kau itu dari tanah! Aku dari api! Aku jauh lebih suci dari dirimu! Berikan cat kuku itu sekarang juga, atau kekasihmu mati!” Suara seraknya itu, mampu membuat daging dan lemakku rontok dari tubuhku, namun aku tetap berusaha santai dan berupaya menghilangkan rasa takutku padanya.
“Kekasihku? Jangan menghinaku Iblis bodoh! Jelas-jelas aku ini jomblo!” Aku berteriak dengan keras padanya, membuatnya menatapku dengan lebih dekat lagi. Bau bangkai menyeruak di dekat hidungku, seakan-akan mencabik aroma segar udara sekitar.
“Cih, yang benar saja. Lihat ke sana Hawa, Adammu akan segera menjemput ajalnya.” Bisiknya dengan sangat sombong, lalu mulai melanjutkan nyanyiannya yang mengerikan itu. Di ujung kegelapan, aku melihat Rian akan gantung diri disebuah pohon.
“Astaga, apa itu Rian?” Tanya Paris sembari membuka mulutnya dengan wajah tidak percaya.
“Bagaimana? Serahkan cat kuku itu, atau dia mati.” Iblis itu tetap berusaha mengancamku.
“Kau pikir aku peduli. Ini bukan kali pertamanya kau mengancamku dasar iblis bodoh. Bunuh saja, aku tidak peduli.” Aku memalingkan wajahku darinya dengan gaya tidak peduli.
“Hihihihi. Benar-benar manusia yang aku idam-idamkan. Kalau begitu serahkan cat kuku itu sekarang!” Teriaknya dengan ganas berusaha mencekikku dengan jari-jari busuknya.