“Bagaimana, Semua?”
Sah! Sorak-sorai bergaung di Kantor Muri Distrik Kauro, merayakan hari bahagiaku bersama Berlian yang kini telah merelakan dirinya sebagai Nyonya Mi. Istriku.
Musim Semi 218 Shirena. Aku tahu. Pada bagian sebelum ini kubilang Berlian lompat dari bangku tempatnya duduk, tersipu, kemudian lari dari halaman rumahku tanpa bilang apa-apa, ‘kan?
Ya, dia memang melakukannya kemarin.
Namun, hal tersebut ia lakukan secara spontan gegara kaget.
Sesuatu menyentuh kakinya hari itu ….
“Jangkrik?”
“Benar.” Begitulah ujar Bibi Hie waktu mengunjungiku keesokan paginya. “Putriku bilang seekor jangkrik loncat ke kakinya pas kalian ngobrol kemarin. Berlian bukan menolakmu, tapi dirinya juga malu sebab kaulah orang pertama yang dia suka. Hahaha ….”
Tentu aku tidak langsung percaya.
Bagaimanapun Bibi Hie memang berniat menjodohkan kami, jadi bisa saja ia mengarang cerita supaya diriku dan Berlian mencoba kesempatan kedua. Gak salah, ‘kan?
Makanya, kuintip kegiatan Keluarga Hie selama satu bulan buat memastikan. Hingga diriku yakin bila Berlian benar-benar calon istri idaman ….
“Apa kubilang. Kalian cocok, bukan?”
“Mama.”
“Duh, Putriku! Kau sekarang seorang istri, jangan ngintil di lenganku. Sana ke suamimu ….”
Awalnya, diriku berniat untuk menutup hati dan hanya menunggu tabir batas benua tersibak di Kauro. Telah kususun kegiatan sepadat mungkin sejak bulan pertama datang kemari.
Sebagai alkemis nganggur, aku melamar ke banyak sekte dan serikat serta rutin mendemonstrasikan keahlian tiap minggu dengan membagikan Pil Bubuk Aroma Mimpi di depan rumah. Namun, siapa sangka bila hidup di kota ini ternyata lebih sulit.
Meski kemampuanku terbukti jempolan, tidak satu pun dari lamaran-lamaran tadi diterima.
“Hah.” Alhasil hari-hari di sini selanjutnya kuisi dengan mengurus herba di halaman, berbagi makanan sama tetangga, terus bolak-balik keluar masuk pasar buat berdagang. “Saudara, kau dari sekte bela diri, ‘kan—coba lihat pil-pilku sebentar ….”
Hingga tibalah hari ini. Saat di mana pikiranku berubah kemudian diriku menikah ….
***
“Mana suamimu?”
“Aku di sini, Bu.”
“Kemarilah, Nak ….”
Hari-hariku berlanjut.
Setahun setelah menikah, Berlian pun hamil anak pertama. Kabar bahagia. Ibu mertuaku bahkan sampai rela pindah tempat menginap demi menunggui si calon cucu.
Berlian juga terlihat menggemaskan di pengalaman pertamanya tersebut. Ia berkali-kali menyeretku sama sang ibu ‘tuk menemani dirinya berkonsultasi ke dukun bersalin, minta berkat ke banyak tokoh, hingga mendatangi tempat-tempat yang menurut adat mereka bagus buat merumuskan nama calon bayi kami.
Mengingatkanku ke masa-masa ibu Miaw dan Yaspin dulu.