“Pagi, Sayang.”
“Ah!” Kuusap pipi Berlian lembut, merespons pelukan sapanya pagi itu. “Pagi, Sayang.”
“Kau kelihatan serius. Lagi lihat apa, sih?”
“Lihat bocah di sana, Sayang …,” kataku, tersenyum menunjuk Miki usai mengecup Berlian dan menarikkan kursi buatnya duduk sebelahku “Dia bolak-balik depan rumah kita. Membantu Nenek Zhuo, mendorongkan gerobak Pak Tua Bong, menyeberangkan Lisa, terus sekarang membawakan belanjaan Bibi Teng.”
Istriku tersenyum, manis sekali.
“Eh, ya, Sayang! Sekarang tanggal dua. Lusa upacara pelantikan bate baru, ‘kan?”
“Eh, iya ….” Spontan mataku terbelalak, cepat-cepat kulahap sisa camilan di meja lalu bergegas ke dalam buat siap-siap. “Orang Kantor Muri mau kemari hari ini—aku lupa.”
Hari itu, tanggal 2 Bulan Enam.
Aku tak punya rencana sebetulnya. Niatku setelah sarapan dan menghabiskan kue-kue kering tadi kalau bukan jaga stan depan rumah adalah duduk santai seharian—gak ada bedanya.
Namun, pas ingat orang Kantor Muri mau kemari semuanya berubah. Diriku kadung sepakat buat menemani mereka memilih hadiah ‘tuk dipersembahkan pada pelantikan bate baru Kauro minggu lalu.
“Terima kasih, Sayang—bagaimana penampilanku?”
Aku putar badan di depan istriku, menunjukkan penampilanku sehabis mandi dan merapikan diri.
“Hem.” Berlian melipat tangan, memutari diriku sekali, kemudian menggeleng. “Gak ada masalah sama jubah atau celana kodokmu, tapi mantel biru ini agak ….”
Aku tidak mengerti arti gerakan kepala juga lirikannya.
“Sayang, jangan main kode. Katakan saja apa yang kurang dari penampilanku biar suami tercintamu ini bisa langsung ganti—”
“Bukan kurang. Mantelmu kebagusan buat ukuran alkemis pengangguran, Sayang. Terlalu mewah ….”
Seketika, diriku langsung lesu dengar komentar Berlian.
Bukan kurang, tapi kemewahan. Apa maksudnya itu?
Bukankah harusnya ia senang tatkala sang suami bakal tampil elegan dan bisa dibanggakan depan orang-orang. Kenapa istriku malah terkesan ingin diriku dipandang ‘sederhana dan seadanya’ begini. Cek!
‘Mantel ini kudapat waktu sekolah di Stellar,’ batinku yang lantas memikirkan solusi, “hem—aha! Aku tahu.”
Selanjutnya, kubuka daftar penyimpanan Chloe terus memilih satu mantel paling biasa di Kantong Hati Naga.
“Bagaimana sekarang?”
“Sebentar.” Istriku kembali memutari diriku, menyentuh mantel yang kupakai, terus berdecak sambil geleng kepala sekali—lagi. “Bahan mantelmu masih kebagusan. Apa di kantung ajaibmu gak ada mantel katun?”
“Yang ini dari katun, Sayang.”